Tuesday, February 23, 2010

Mempertimbangkan Domestikasi Kelapa Sawit

Beberapa ahli kelapa sawit menyatakan bahwa satu tanaman kelapa sawit berpotensi untuk memberi makan satu jiwa manusia sepanjang tahun. Sejak berumur 3 tahun sampai nanti berumur 25 tahun, jika dirata-ratakan dapat menghasilkan tandan buah segar (TBS) sekitar 25.5 kg per bulan per tanaman. Berdasar harga sekarang, itu bernilai sekitar Rp. 30.600, sama dengan sekitar 8,5 kg beras. Dengan konsumsi beras Indonesia yang sekitar 11.5 kg perkapita per bulan, maka potensi tersebut mencukupi setidaknya 75% kebutuhan pangan kita. Jika dikonversi ke luas lahan, dengan populasi tanaman sekitar 140 tanaman per ha, potensi produksi TBS sekitar 3.5 ton per ha. per bulan, ekuivalen pendapatan kotor lebih dari 4 juta rupiah per ha. per bulan.

Karena alasan produktifitas inilah hingga dalam bisnis kelapa sawit muncul guyonan bahwa tidak mungkin akan ada perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit mengalami kerugian, apalagi kebangkrutan, kecuali karena sangat bodohnya dalam menjalankan usaha, atau karena perusahaannya dipenuhi koruptor. Melihat potensinya, guyonan tersebut tidak berlebihan. Sebab dengan produktifitas jauh di bawahnya, perusahaan kelapa sawit selama ini sudah meraih keuntungan besar. Demikian produktif tanaman ini hingga negara-negara sub tropik yang tidak dapat membudidayakan tanaman ini khawatir minyak nabati asal kelapa sawit akan menggusur minyak nabati mereka yang umumnya berbasis kedelai dan kacang-kacangan. Di samping karena sifatnya yang multifungsi, produktifitas menjadi alasan komoditas ini diperkirakan tidak akan pernah kehilangan peluang pasar dan daya saing.

”Sawit Domestik”

Sayangnya, di Kalimantan Barat (Kalbar) kelapa sawit hanya dikembangkan sebagai komoditas perkebunan ”besar” yang pembudidayaannya seolah juga harus dalam skala besar, sehingga keuntungan dari produktifitas tanaman tersebut hanya bisa dinikmati oleh segelintir pengusaha yang bermodal besar atau orang-orang tertentu yang memiliki akses kuat terhadap modal dan penguasaan lahan. Padahal jika merujuk pada potensi ”individual” tanaman seperti diuraikan didepan, sangat mungkin tanaman ini dikembangkan dalam skala kecil di pekarangan, terutama di pedesaan. Tanaman ini juga memenuhi syarat sebagai tanaman peneduh dengan tetap memberikan hasil yang menggiurkan. Sebagai contoh, kelapa sawit di sepanjang jalan Sultan Hamid II Pontianak yang fungsinya adalah sebagai peneduh jalan, ternyata juga mampu berproduksi dengan baik. Dari sekitar 200-an pohon, setiap sepuluh hari selalu dihasilkan satu pick-up penuh TBS dengan bobot tak kurang dari 1,5 ton. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagaimana tanaman lain seperti kelapa, pisang, mangga, karet dan sebagainya, kelapa sawit potensial untuk dibudidayakan secara ”domestik” (di lingkungan pemukiman) dengan hasil yang tetap tinggi.
Masalahnya hanya pada sistem tataniaga. Saat ini, untuk ”mengkonversi” TBS menjadi uang, kelapa sawit harus melalui perusahaan yang mempunyai pabrik pengolahan crude palm oil (CPO), yang biasanya tidak melayani transaksi TBS secara ”eceran”. Tetapi berkaca pada komoditas lain, hal itu dapat disiasati misalnya dengan cara melalui ”pengepul” seperti pada sistem tataniaga hasil karet alam yang saat ini sudah berkembang dengan baik.

Mental Subsisten

Pada dasarnya, pembangunan sistem pertanian di Indonesia adalah berawal dari pola subsisten. Yaitu sistem pertanian yang bertujuan sekedar untuk mencukupi kebutuhan dasar keluarga sehari-hari, jauh dari maksud komersial dan hanya sedikit menggunakan sumberdaya lingkungan. Sehingga meskipun kini pola pertanian komersial sudah jauh berkembang, tetapi “cara pandang” subsisten ini masih tetap tersisa pada sebagian besar petani kita. Jadi ketika sistem pertanian perkebunan besar yang sepenuhnya bertujuan komersial dan berbasis modal dari luar dikembangkan di lingkungan mereka, sistem tersebut menghadapi berbagai bentuk penolakan. Resistensi pada aras persepsi itulah yang sering melandasi berbagai keresahan di masyarakat yang kemudian berkembang menjadi konflik dengan isu yang bervariasi.
Mengingat fakta bahwa sebagian besar petani (atau bahkan sebagian besar masyarakat) kita tergolong gurem dan masih bergumul dengan “cara pandang subsisten”, diduga bahwa inilah salah satu penyebab kurang berhasilnya program pemerataan kesejahteraan masyarakat melalui metode “tetes minyak” yang dikembangkan pemerintah selama ini. Termasuk program pemerataan kesejahteraan melalui sektor perkebunan yang oleh Pemerintah Provinsi Kalbar telah dijadikan sebagai salah satu pilar akselerasinya. Buktinya, keberhasilan pembangunan kebun-kebun besar kelapa sawit, tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di sekitarnya secara signifikan.
Oleh karena itu, perlu kiranya dipertimbangkan adanya program-program terobosan yang tetap bertumpu pada kultur masyarakat yang masih dipengaruhi oleh pola subsisten tersebut. Misalnya dengan semakin membumikan komoditas-komoditas perkebunan andalan seperti kelapa sawit dengan berbasis pekarangan sebagaimana pertanian subsisten pada masa lalu. Memanfaatkan pekarangan dan tanah-tanah kosong lainnya di sekitar pemukiman untuk budidaya tanaman, sudah terbukti bisa menjadi “tabungan” yang efektif dalam membantu ketercukupan kebutuhan dasar keluarga. Kebiasaan-kebiasaan positif semacam itu dapat diadopsi untuk percepatan pemerataan kesejahteraan masyarakat melalui sektor perkebunan di Kalbar.

Apalagi jika dipadu dengan semangat kolektif masyarakat. Andai setiap pekarangan ditanami 5 pohon kelapa sawit, maka untuk mencapai populasi tanaman setara satu hektar di ”kebun besar” hanya diperlukan sekitar 30 pekarangan. Artinya, jika dikelola secara kolektif, tanpa warga harus bekerja akan selalu tersedia dana bersih lebih dari 1 juta rupiah per bulan untuk setiap 30 keluarga. Demikian juga seandainya setiap tepi jalan di Kalbar ditanami kelapa sawit. Untuk tiap kilometernya minimal akan setara dengan satu hektar kebun yang akan menghasilkan dana yang kemungkinan dapat mencukupi biaya perawatan jalan itu sendiri. Bahkan mungkin dapat membuat jalan tersebut lebih ”mulus” dibanding sebelumnya. Belum lagi jika memperhitungkan penyerapan tenaga kerja dan peluang ekonomi lain yang akan terlibat di dalamnya.
Jika dapat dilaksanakan, barangkali tidak perlu lagi ada hutan yang dibabat untuk dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Citra kelapa sawit pun dengan sendirinya akan membaik karena semua masyarakat merasakan hasilnya. Ini sangat penting mengingat pemerataan hasil dan kepemilikan lahan, kelestarian lingkungan hidup serta keterbukaan akses tata niaga bagi masyarakat sering di sebut merupakan isu utama penyebab citra negatif sehingga menghambat pengembangan komoditas kelapa sawit di Kalbar. (PontianakPost)

Baca Juga !

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More