Hancurnya Sumber Penghidupan Masyarakat

Tanah dan kekayaan alam bagi kaum tani merupakan sarana produksi utama. Dari hasil kerjanya kaum tani untuk menghasilkan kebutuhan untuk penghidupannya. Bagi masyarakat Kalimantan Barat ketergantungan penghidupan ekonomi dari tanah dan kekayaan alam berupa hutan

Tidak Ada Pemulihan,Hutan Indonesia akan Hancur

Pada tahun 1950, Luas Hutan indonesia masih menutupi 80 % daratan Indonesia, dengan luas 162.290.000 Hektar, dan sampai hari ini grafik kerusakannya semakin meningkat. Tahun 1999 Kepentingan Perubahan kawasan hutan untuk pertambangan mulai muncul menyusul sejak keluarnya izin tambang dalam kawasan hutan, dimana saat itu luas izin tambang dalam kawsan hutan

Memajukan Desa Tertinggal

Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia secara legal formal telah merdeka lebih dari setengah abad. Pada bulan Agustus 2012 nanti, Indonesia telah memasuki usia kemerdekaanya yang ke-67.

Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan

Kesejahteraan Rakyat Acap Tersisihkan

Keberpihakan pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat cenderung makin pudar. Itu tercermin dalam penggunaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat yang acap tersisihkan oleh kepentingan untuk memenuhi .

Wednesday, February 23, 2011

Ubah Pengelolaan Pedesaan untuk Atasi Kemiskinan


Untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat desa, pemerintah harus melakukan perubahan besar di tingkat manajemen pengelolaan pembangunan ekonomi
 di masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan sangat penting, mengingat kemiskinan terbesar di Indonesia justru mayoritas berada di pedesaan. Jika tidak, masyarakat desa akan cenderung apatis dan masa bodoh saat dilibatkan untuk ikut dalam musyawarah rencana pembangunan di tingkat desa atau disebut Musrenbangdes. Banyak program yang dijalankan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, akan tetapi cenderung bersifat instan dan jangka pendek.

 "Kebijakan itu juga tidak dirancang dengan baik dan konseptual serta tidak jarang dilandasi tujuan dan kepentingan pragmatis, fakta-fakta menunjukkan program pengembangan ekonomi pedesaan hanya sexy pada saat kampanye pemilihan kepala daerah, akan tetapi tidak sexy lagi saat diimplementasikan pada alokasi anggaran. 

Inilah persoalan yang sangat krusial berkaitan dengan masalah kemiskinan yang sungguh nyata, akan tetapi belum tersentuh secara substansial,contohnya pembangunan ekonomi yang cenderung lebih memihak ke kota daripada ke desa meskipun publikasinya ingin membangun pedesaan.

Wednesday, February 16, 2011

Alih Fungsi Hutan Kalimantan Barat Bermasalah, Pemerintah Diminta Tegas





Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat mendesak pemerintah bertindak tegas atas alih fungsi hutan oleh sejumlah perusahaan. Pengalihan itu selain illegal juga menimbulkan banyak masalah.
Hal tersebut disampaikan oleh Yayasan Titian, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Konsorsiaum Anti Ileggal Logging (KAIL) serta Amanat Masyarakat Pedalaman (AMAN) kepada TEMPO di Pontianak, Rabu (16/2), menanggapi rencana pemeritah mengubah tata ruang kawasan hutan menjadi Hak Peruntukan Lain (HPL).

Usulan perubahan tata ruang hutan harus ditinjau ulang, karena menimbulkan banyak rmasalah. Bahkan, di Kabupaten Sanggau dan Bengakayang, sejumlah perusahaan sawit mengunakan lahan illegal,” kata Rido, Manajer Program Yayasan Titian, Rabu (16/2).

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Blasius Hendi Candra, meminta Menteri Kehutanan berhati-hati untuk mensetujui usulan perubahan tata ruang kawasan hutan menjadi HPL seluas 2,3 juta ha. KPK harus turun tangan karena banyak kawasan hutan sudah ditanami sawit dan jadi kawasan tambang illegal. Kalau perubahan karena alasan kawasan penduduk itu tidak besar jumlahnya, inikan pasti ada kepentinan para inventor yang lebih besar,” ungkapnya.

Dari data Dinas Kehutanan Kalimantan Barat diperoleh keterangan, sekitar 1,5 juta hektare kawasan hutan telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan pertambangan secara ilegal. Tumpang tindih perizinan itu terjadi hampir merata, seperti Kabupaten Landak, Ketapang, BengkayangSintang, Melawi, Kapuas Hulu, Sambas, Sanggau, dan Kubu Raya.

Ketua AMAN, Kalimantan Barat Surjani Alloy justru menunding rencana perubahan kawasan hutan tidak mewakili kesejahteraan masyarakat pedalaman. Itukan untuk kepentingan para penguasa dan pengusaha sawit dan tambang, masyarakat di pedalaman akan makin tersingkir dari tanahnya sendiri. Lihat saja Kalbar sekarang, hampir semua kabupaten dan kota tenggelam oleh banjir."

Kepala Badan Pertahanan Nasional (PBN) Kalimantan Barat Imel Poluan mengaku telah memberikan data yang dibutuhkan tim Perubahan Tata Ruang dari Dinas Kehutanan dan Dinas Pekerjaan Umum. "BPN tidak masuk dalam tim inti, hanya memberikan data yang kami punya, keputusan tentunya pada mereka," kata Imel.

Staf Humas dan Komunikasi Departemen Kehutanan Purwantio membenarkan, sejumlah pejabat dari kantornya  Kamis (17/2) akan datang ke Pontianak bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bareskim Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan Satgas Mafia Hukum, untuk melakukan rapat koordinasi dengan kepala daerah tingkat II dan Gubernur Kalimantan Barat.

Kalimantan Barat memiliki luas daratan 14.546.319 Ha, berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-ii/2000, kawasan seluas 9.101.760,00 Ha (62,57% dari luas total) telah ditunjuk kawasan hutan seluas yang terdiri dari (1) kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seluas 1.645.580 Ha, (2) Hutan Lindung (HL) seluas 2.307.045 Ha, (3) Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2.445.985, (4) Hutan Produksi (HP) seluas 2.265.800 Ha, (5) Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 514.350 ha.(TEMPOInteraktif 16/02/11)

Tuesday, February 1, 2011

Implementasi Otonomi Desa Menurut UU No 32/2004


Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya, menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan dan keadilan disertai untuk kesadaran akan keaneka ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :
  1. Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.
  2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.'
  3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
  4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
Desa atau yang di sebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mngurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan/atau di bentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Amandemen UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan ataupun pedelegasian dari pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan terhadap Desa,geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang di bentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi daerah akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Sebagai perwujudan dari sistem demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Otonomi desa pada dasarnya mempunyai peranan yang strategis, ketika saat ini kita semua sedang mengusung ide pembangunan yang berbasis kerakyatan/masyarakat, pemberdayaan dsb. Desa adalah basis masyarakat dengan segala problematiknya. Kemiskinan ada di desa, akan tetapi di desa pula basis sebagai potensi bisnis ekonomi, sebagian besar penduduk indonesia juga tinggal di desa. Dengan demikian, slogan yang mengatakan membangun desa maka daerah dan negara maju bukan hanya slogan pepesan kosong tanpa argumen yang valid. Dalam kerangka konseptual pemikiran ini lah, maka konsep pengembangan otonomi desa adalah alternatif yang pantas di evaluasi yang berperan strategis dalam sistem pertahanan nasional.
Otonomi pada hakekatnya menunjukan besaran kewenangan yang dimiliki sebuah ruang lingkup wilayah politik dan administratif. Luas atau sempitnya kewenangan yang di ukur dengan jumlah urusan akan menunjukan besaran otonomi tersebut. Oleh sebab itu, besaran kewenangan ini akan berhubungan dengan tingkat kapabilitas dalam mengelola kewenangan tersebut yang di lihat pada level kreativitasnya. Sehingga ada persepsian yang menyatakan bahwa otonomi akan mendorong kreatifitas yang arti kata ada pemberdayaan di sana. Tanpa ada otonomi, jangan harap akan munculnya lahir kreativitas dan kapabilitas komunitas masyarakat lokal.
Namun, hal yang menarik jika kita mencermati perkembangan otonomi desa, ternyata sesungguhnya masyarakat lokal khusus masyarakat pedesaan telah lebih dahulu memiliki bakat kreativitas dalam mengelola berbagai problematiknya dalam ruang lingkup otonomi aslinya yang kelihatan ada pada pola adat-istiadat mereka. Hal ini tentunya tidak sama dengan otonomi daerah pada level Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi yang dari segi waktu masih relatif lebih muda karena diberikan oleh negara sebagai bentuk strategis kebijakan pemerintah.
Menyimak sejarah perkembangan otonomi desa, akan kelihatan kuatnya komitmen untuk mengeyampingkan ruang lingkup pedesaan yang terus berkembang dan berlangsung. Rezim otoriter dalam konteks desa sepertinya akan terus berlanjut. UU No 32/2004 yang mengantikan UU No 22/1999 mungkin cerita yang dapat diangkat.
Pemerintah Desa berdasarkan UU No 32/2004 harus dikatakan berbeda secara mendasar dengan pemerintah desa menurut UU No 22/1999. Di mana pengaturan desa yang tergambar dalam UU No 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol pemerintah dan menghilangkan demokratisasi pemerintahan desa. hal ini mengingatkan pengaturan desa dalam UU No 5/1975.
Selanjutnya menyangkut kewenangan desa, dapat di lihat bahwa terdapat tiga sumber urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa sebagaimana di atur dalam Pasal 206 UU No 32/2004 yaitu :
  1. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.
  2. Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.
  3. tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidak-sikronan terutama pasal 206 ayat (1) dengan pasal 200 UU No 32/2004 yaitu :
  1. Dalam pemerintahan desa di Kabupaten/Kota di bentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
  2. Pembentukkan, penghapusan dan/atau pengabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat.
  3. Desa di Kabupaten/Kota bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Pemusyawaratan (BPD) dengan PERDA.
Pasal 206 ayat (1) menjelaskan kewenangan desa adalah urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa. Jenis urusan ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintahan Kabupaten/Kota. Padahal dalam pasal 200 dinyatakan bahwa dalam PEMDA Kabupaten/Kota di bentuk Pemerintahan Desa. Istilah PEMDA menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian dalam Pemerintahan Desa yang di bentuk ada urusan yang tidak bersumber kepada pembentukkannya.
Menyangkut pengaturan sistem Pemerintahan Desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu :
Pertama : Tidak diaturnya sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa dalam batang tubuh UU No 32/2004. Sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desanya yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung-jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan laporan pertanggung-jawabannya. Pengaturan semacam ini tidak tepat sasaran. Karena penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma sehingga terhindar dari penafsiran gramatikal ganda. Hal ini yang perlu dicermati yaitu pola laporan pertanggung-jawaban yang bersifat vertikal (ke atas) dan bukan horinzontal dan ke bawah (ke masyarakat dan BPD) akan menimbulkan perubahan orientasi pengabdian Kepala Desa yang akan lebih loyalitas kepada kehendak pihak atas ke timbang kepada rakyat yang memilihnya dan menimbulkan dampak yaitu Pemerintahan Desa bisa menjadi alat politik pencapaian kekuasaan dari Bupati/Walikota dalam pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung.
Kedua : Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa di atur lebih lanjut dengan PERDA berdasarkan Peraturan pemerintah dan  pasal 208 UU No 32/2004  Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat UU tidak secara definitif menentukan tugas dan kewajiban kepala Desa. pengaturan semacam ini memberi ruang hampa pada pemerintah melalui peraturan Pemerintah. Di lain pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi yang sangat terbatas berdasarkan pasal 209 UU No 32/2004 yaitu menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka akan sangat sulit terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena kewenangan Kepala Desa sangat elistis dengan menyerahkan sepenuhnya pengaturan kepada PERDA.
Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam UU No 32/2004 fungsi bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa dan sebagai penampung serta penyalur aspirasi rakyat. Berbeda sama sekali dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dalam UU No 22/1999, BPD berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.
mekanisme tata cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam UU No 32/2004yaitu anggota Badan permusyawaratan Desa (BPD) adalah respretatif dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat artinya tidak dipilih secara langsung akan tetapi dengan ditetapkan dengan cara musyawarah. Mekanisme tata cara pengaturan ini pada dasarnya menghilangkan prinsip nilai demokrasi di level wilayah desa. Sedangkan di dalam UU No 22/1999 yaitu anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh anggota. Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati/Walikota, tetapi wajib ditetapkan dengan tembusan kepada Camat, Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Selain itu, penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa memunculkan kembali "sistem nepotisme", kerabat-kerabat  Kepala Desa menjadi kaum elit desa karena keangotaannya ditetapkan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan pola ini dapat di anggap sebagai pengingkaran prinsip demokrasi langsung terhadap kedaulatan rakyat.
Selanjutnya itu, mengenai aparatur Pemerintahan Desa dalam UU No 32/2004 terdiri atas Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris Desa di isi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Kondisi ini pada dasarnya akan mengarahkan Pemerintahan Desa ke arah birokratisasi yang pengabdiaannya pun akan berbeda. Di samping itu akan munculnya kultur pegawai negeri sipil di desa dan dapat diarahkan kepada mesin politik baru.
Di samping itu, secara politik kedudukan Sekretaris Desa dapat membuatnya jugaloyalitas ganda, satu sisi sebagai bawahan Kepala Desa maka ia harus tunduk kepada Kepala Desa. namun di sisi lain sebagai Pegawai Negeri Sipil secara otomatis maka ia juga harus tunduk kepada atasannya yaitu Bupati/Walikota. Loyalitas ganda ini lah menyebabkan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri menjadi hilang. Sebab masuknya birokrasi intervensi pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan mudah masuk ke desa. Jika demikian, peluang pola pembangunan yang sentralistik dan top down (dari atas) berpeluang untuk hadir kembali.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :
  1. Mempercepat pemprosesan pembahasan dan pengesahan RUU Pemerintahan Desa menjadi UU Pemerintahan desa sebagai payung hukum  manisfestasi prinsip demokratisasi perdesaan serta dalam sistem pertahanan nasional dalam kerangka NKRI.
  2. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosesdur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat desa untuk menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya akan tetapi tetap memberi kesempatan kepada masyarakat/rakyat desa melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban  yang di maksud.
  3. Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama para petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agrobisnis industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA).  (Rivan M,SH,27/01/11)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More