Monday, October 11, 2010

Apakah Masyarakat Adat (MA) itu ?

Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Pernyataan yang dicetuskan oleh rakyat Indonesia (masyarakat adat/MA) dari berbagai penjuru nusantara dalam Kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999.  Ini boleh dibilang sebagai bentuk ”perlawanan” dan juga ”protes” atas sikap negara (Pemerintah) yang cenderung mengabaikan eksistensi MA.  Pernyataan ini tentunya sangat argumentatif, karena MA telah ada jauh sebelum negara Republik Indonesia ini dideklarasikan sebagai negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945 silam.  Sisi lain dari keberadaan MA juga sebagai bagian dari warga di negeri ini.  Sebagain bagian dari makhluk di dunia, kehadiran setiap pribadi masyarakat memiliki harkat dan martabat yang sama.


Didefinisikan  Masyarakat Adat merupakan sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.  Demikian halnya istilah MA seringkali digunakan dalam istilah yang beragam.

Di beberapa negara lain, banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan atau orang asli untuk sebutan di Malaysia.  Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples tertuang dalam deklarasi PBB (draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples).  Di Indonesia berdasarkan versi pemerintah menyebutnya dengan Istilah “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat tradisional”.

Istilah Masyarakat Adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop) menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam.  Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. 
Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing (Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12, Juni 2002, Jakarta). 
Pemahaman mengenai Masyarakat Adat tentunya tidak hanya merujuk pada etnis/kelompok tertentu, tetapi sangat luas meliputi segenap warga yang masih memelihara sistem nilai adat dan budayanya dengan keberadaan SDA yang masih tetap terjaga.

Lantas bagaimana dengan nasib MA saat ini?  Masyarakat adat sebagai bagian dari komponen masyarakat sipil cenderung (senantiasa) berada pada posisi lemah, dan rentan terhadap perlakuan refresif manakala berhadapan dengan pemodal dan aparatur negara khususnya dalam upaya menuntut hak dan keadilan terhadap kondisi sosial-ekologi yang berkelanjutan.  Perjuangan warga terhadap akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya seringkali dikesampingkan. Dengan posisi yang lemah tersebut menjadikan masyarakat cenderung kurang ”berani” dan potensial untuk selalu mendapat dampak buruk.

Upaya dan tantangan atas perjuangan yang dialami masyarakat adat di Kalimantan Barat, mempunyai dinamika tersendiri.  Sebagai bagian penduduk di bumi ini, warga Kalimantan Barat dengan latar belakang yang beragam dan tinggal (umumnya) di pedalaman dalam kesehariannya senantiasa berhubungan langsung dengan alam dan lingkungannya. Potensi sumber daya berupa hutan, tanah dan air adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat adat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil bumi.  Hutan, tanah dan air merupakan alat produksi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.

Massifnya kebijakan investasi skala besar dalam bentuk perkebunan sawit, pertambangan, HPH, HTI dan lainnya sebagai bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam versi penguasa namun memberikan ruang yang sangat memungkinkan terjadinya perampasan atas hak kelola masyarakat (adat) atas potensi alam melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis kepentingan ekonomi semata, namun cenderung mengesampingkan aspek lingkungan sosial-budaya, adat istiadat dan ekologi adalah jalan pasti menuju kehancuran.

Hal ini dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan selama ini. Atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan, pemodal yang sedari awal tidak memiliki sejengkal tanahpun memang sangat ”profesional” dalam mewujudkan impiannya dengan ”mengambil alih” kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dengan berbagai cara untuk membuka investasi melalui izin penguasa (Negara). Berbagai iming-iming dan citra positif untuk membuai masyarakat agar dapat diterima seringkali disampaikan secara sepihak yang berakibat pada pelepasan tanah dan sumber daya alam warga dan bahkan berujung pada konflik sosial bila kemudian warga akhirnya sadar dan melawan.

Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali digunakan untuk membuai warga soal investasi yakni; memberikan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan pendapatan asli daerah/PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Keempat mitos ini tentunya tidak harus ditelan mentah-mentah, bila dikaji lebih kritis maka sesungguhnya keempat dalih tersebut tidak lebih dari ”akal bulus” yang kurang mendasar.

Dampak dari pemberian ruang bertumbuh kembangnya investasi skala besar (perkebunan sawit, pertambangan, HTI) yang menguras sumber daya alam disekitar lahan kelola masyarakat dan bahkan mengabaikan hak-hak MA seringkali memiriskan hati dengan berbagai fakta dan realita yang terjadi selama ini. Sebaliknya, masyarakat yang sadar berjuang dan menolak investasi seringkali dipersalahkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menginginkan hutan, tanah dan air nya tetap utuh menjadi fenomena sebagai konsekeunsi sebuah perjuangan melawan kaum bermodal yang mendapat restu dari penguasa. ( Hendrikus Adam - Aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat )















Baca Juga !

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More