Tuesday, March 2, 2010

Seni Ukir Desa Semongan Kurang Terekspos

Tidak seperti para pedagang lainnya yang aktif menawarkan barang dagangan kepada para pengunjung. Martinus Kinyu (49) Warga Desa Semongan Kecamatan Noyan Nampak lebih banyak diam, tapi dalam diamnya sesekali melihat pengunjung yang berjongkok di depan hamparan tikar pandan tempat tersusunnya ukiran-ukiran miliknya.
Ukiran berbentuk motif ular yang melingkar tampak di sebuah penutup teko, asbak berbentuk kepiting, kelelawar, kura-kura dan masih banyak lagi ada di hamparan tikar pandan itu. Semua ukiran milik Martinus terbuat dari kayu belian yang saat ini untuk memperolehnya. Meski sulit dan mahal harga kayu tidak membuat Martinus merasa terhalangi. Itu justru membuatnya merasa tertantang karena dengan demikian semakin membuat karyannya semakin ’berharga’.

“Ini kerajinan tangan berbahan dasar kayu belian dan bahannya adalah dari kayu yang tidak terpakai lagi,” ujar Martinus.

Kreatifitas dan kejeliannya membuat motif-motif ukiran terlihat dari hasil produksinya karena dalam satu jenis teko atau asbak memiliki bentuk ukiran dan relif yang berbeda-beda serta ukuran yang tidak sama besar tergantung dari besarnya bahan baku yang diperolehnya.

Selain dari bentuk, alat-alat yang dipergunakannya juga hasil kreasinya sendiri terutama pahat serta petik (seperti cangkul berukuran kecil) yang digunakan untuk mengorek kayu dibagian dalamnya sehingga dapat membentuk cekungan sesuai dengan betuk yang diinginkan.

”Ada 40 jenis pahat yang saya buat sendiri karena pahatnya tidak ada yang jual dipasar kalaupun ada sering kutang maksimal fungsinya,” jelasnya sambil menujukkan lubang hasil pahatan dalam sebuah teko yang memang nampak rapi dan sekilas dikerjakan dengan peralatan moderan karena hasilnya rapi dan halus.

Untuk satu set teko dengan enam buah cangkir yang masing-masing lengkap dengan tutupnya serta ditambah satu buah baki juga berasal dari kayu belian, Martinus menyelesaikannya dalam wakyu 24 hari karena kehati-hatian serta kerapihan dalam mengerjakan menjadi salah satu syarat untuk sebuah karya yang baik.

”Kayu belian cerewet sekali, terlalu keras kita memahatnya apalagi dalam kondisi kering bisa membuat retak bahkan pecah seperti cangkir-cangkir ini,” tambahnya sambul mengangkat sebuah cangkir seukuran gelas sloki bertangkai itu.

Tidak salah dan dirasa wajar bila Martinus meletakkan harga satu set teko dengan harga Rp 350.000 dan itupun masih saja sering ditawar hingga Rp200.000.

”Harganya menurut saya tidak mahal karena proses pembuatannya memakan waktu lama dan juga saya punya satu tenaga pembantu yang juga butuh biaya untuk mengajinya,”

Hasil karyanya ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki para pengrajin dari Pulau Jawa, karena relif motif dalam hasil karyananya itu terinspirasi dari mimpi atau firasat yang membayang difikirannya bahkan juga dirinya sempat merefleksikan musim yang tengah terjadi saat Ia membuat satu buah karya.

Untuk pemasarannya Martinus dan pengembangan usaha kerajinannya itu belum mendapat perhatian yang cukup. Baik penyediaan bagan yang mudah, bantuan modal bahkan juga promosi yang dilakukan oleh pemerintah.

Namun menurutnya pada musim-musim tertentu untuk penjualan dia merasa tenang lantaran ada beberapa orang pembeli yang datang dari Malaysia untuk secara khusus membeli atau bahkan memesannya dalam jumlah banyak.

Baca Juga !

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More