Thursday, August 23, 2012

Adat Dan Budaya dalam Bingkai Kehidupan Sosial Masyarakat Dayak


Adat adalah representasi material dari suatu masyarakat. Perwujudan material dari karakteristik dan kearifan lokal yang hidup dan menghidupi masyarakat dalam suatu wilayah. Adat berada dalam ruang sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam masyarakat. Lebih dari itu, Adat merupakan sebuah sistem yang menyejarah dan dialektis. Perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu dan semua yang terjadi dalam masyarakat tercermin lewat adat. Hilangnya adat berarti hilangnya suatu masyarakat.

Dalam masyarakat Dayak, pola perilaku, interaksi, pola hidup dan perlakuan terhadap alam didasarkan pada prinsip solidaritas. Sendi-sendi dasar solidaritas ini bukan merupakan sesuatu yang di rekayasa oleh sebagian pihak yang kemudian dipaksa untuk dipakai bersama. Kondisi material dari waktu ke waktu yang terus berubah membuat masyarakat Dayak menentukan pilihan penyikapan terhadap kondisi yang terus berubah. Sikap individualistis dan penciptaan iklim kompetisi ternyata tidak merupakan pilihan bagi Suku Bangsa Dayak Indonesia. Dalam kesusastraan lisan, didapati fase-fase dalam sejarah Dayak ; jaman Sangen, Sangiang, Tetek Tatum dan jaman Sansana Bandar yang merupakan jaman keemasan bagi bangsa Dayak Indonesia, didalamnya menggambarkan peri kehidupan bangsa Dayak yang didasarkan pada nilai-nilai solidaritas. Kalaupun dalam sejarah Dayak, pernah terjadi kayau, hal ini pun bukan dilakukan atas dasar individualisme dan merupakan penyikapan bangsa Dayak terhadap kondisi pada jamannya. Dalam hal budaya, terdapat simbolisasi perjalanan manusia sebelum dilahirkan sampai pada kehidupan setelah kematian yang dilambangkan dalam bulu kendali burung Tingang, dikenal dengan ungkapan Dandang Tingang yang secara bebas dapat diartikan memanusiakan manusia. Nilai filosofis Dandang Tingang inilah yang kemudian secara materil diterjemahkan dalam ungkapan ”Belom Bahadat”(hidup berdasarkan pada adat sehingga menjadi suatu keutuhan sebagai manusia). Manusia Dayak memiliki tiga sikap dasar dalam menjalani pilihan kehidupannya, baik terhadap Tuhan, unsur gaib, tumbuhan, hewan dan sesama manusia. Ketiga sikap dasar ini adalah sikap sembah, hormat dan sopan (Nathan Ilon:1978). Ketiga sikap dasar ini menempatkan manusia Dayak sebagai pengurus Alam, bukan penguasa yang secara eksploitatif dalam berhubungan dengan alam dan sesama. Belom Bahadat kemudian menjadi sebuah tuntunan manusia Dayak dalam menjalani kehidupannya dan pada gilirannya menjelma menjadi hukum adat yang kontekstual pada masing-masing suku.

Penyelesaian masalah dan perselisihan dalam hukum adat lebih menggunakan pendekatan damai atas dasar solidaritas. Misalnya terhadap perselisihan antara satu orang dengan lainnya solusi yang diambil adalah dengan saling mengangkat saudara. Perwujudan solidaritas dapat ditemui dalam tata kehidupan dalam rumah betang, seperti yang sudah dikenal luas. Solidaritas, kesetiaan dan kesetaraan(termasuk jender) sebagai nilai dasar yang menjadi pegangan manusia Dayak dapat ditemui dalam hal perkawinan. Bagi manusia Dayak perkawinan adalah suci dan terhormat. Dalam budaya Dayak, perkawinan merupakan hal yang suci sehingga sebelumnya harus dipersiapkan dengan matang. Terhadap persiapan ini terdapat prosesi yang harus dilakukan oleh mempelai sebelumnya. Sebagai sesuatu yang suci, dalam budaya Dayak juga tidak mengenal perceraian maupun poligami (wawancaradengan Bajik Simpey, 20-08-2007). Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan dan laki-laki saling berbagi peran sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan (Nila Riwut:2003), sehingga emansipasi jender dalam budaya Dayak sebenarnya bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan. Perwujudan nilai kesetaraan(agaliter) dalam budaya Dayak dapat dilihat dari bahasa, dimana kata ”anda/kamu” dipakai untuk siapa saja baik segi usia, pangkat dan sebagainya, tidak secara berbeda misalnya ikau dalam bahasa Ngaju dan hanyu dalam bahasa Ma’anyan. Dengan demikian, menjadi sebuah kesimpulan bagi penulis bahwa nilai-nilai mendasar yaitu solidaritas, kesetiaan dan kesetaraan menjadi karakteristik mendasar dalam menjalani kehidupan sebagai manusia Dayak.

Invasi kebudayaan dan peminggiran terhadap nilai-nilai ke-Dayak-an telah terjadi pada masa kolonialisme bangsa barat. Dayak dipakai sebagai label yang sangat iferior. Dajakers oleh orang Belanda kolonial. Sebuah label yang menunjukkan ke-tidak beradab-an. Invasi kebudayaan ini kemudian menyerang pada sendi paling dasar dalam masyarakat Dayak, yaitu agama asli masyarakat Dayak sebagai sumber sistem religi dan sosial masyarakat Dayak. Agama asli ini yang kemudian disebut agama helu, lalu kemudian Kaharingan, diberi label sebagai sebuah kepercayaan kafir, pagan, dan sebagainya memaksa sistem religi dan sosial ini pada ranah politik formal, sebelumnya tergabung dalam sekber Golkar lalu digabungkan dalam agama Hindu dengan nama Hindu Kaharingan. Peminggiran terhadap Kaharingan pada gilirannya membawa pada pelepasan makna filosofis dengan simbol-simbolbudaya. Manusia Dayak kekinian tidak lagi mengenal karakter sebagai manusia Dayak.

Pada era globalisasi sekarang ini, dimana rujukan modern mengambil barat sebagai patokan, kompetisi sebagai dasar hubungan dan kekuasaan sebagai orientasi membawa manusia Dayak semakin terasing dari karakternya. Dasar solidaritas dipecah dan direkayasa secara historis dan sistematis lewat pelabelan Rumah Betang yang tidak sehat dan tidak modern, sehingga pada kondisi tertentu meningkatkan penjualan perumahan lewat “KPR-BTN”, membawa masyarakat Dayak pada ruang individualistis. Penerapan modernisasi alabarat yang memiliki prasyarat “masifikasi individualisme” merubah wajah karakter masyarakat Dayak khususnya di perkotaan menjadi masyarakat tanpa karakter. Rumah-rumah dipisahkan dengan pagar-pagar tinggi, manusia hidup dalam suasana yang kompetitif dimana yang kuat yang menang, hidup menurut hukum rimba dengan bungkus modernisasi. Semboyan-semboyan lokal seperti penyang hinje simpey sekadar menjadi slogan sebuah kabupaten yang hampir tidak tampak lagi karakter “Dayak”nya. Simbol itu telah lepas dan terpisah dari nilai filosofisnya. Kopetisi sebagai antagonisme dari solidaritas, dengan disokong oleh invasi budaya yang terjadi sejak dulu dan kini terus di reproduksi lewat media massa semakin membawa manusia Dayak terasing dari solidaritas yang pernah menjadi karakternya dahulu. 

Kompetisi dan modernisasi juga merubah karakter manusia Dayak yang memiliki kesetiaan pada hal-hal yang sifatnya ideologis. Bila dahulu manusia Dayak siap berkorban nyawa bila suku atau kerabat dan sahabatnya dilecehkan, sekarang lebih terlihat bentuk kesetiaan sistem kerajaan. Dimana pemimpin yang berkuasa tak boleh di bantah dan di sanggah, sehingga prinsip ABS(asal bapak senang) dapat kita lihat dalam diri tokoh-tokoh elit dewasa ini. Sifat oportunis juga menyertai karakter birokrasi di tanah Dayak, kesetiaan semu, penjilatan dan kesediaan menjadi munafik mewarnai wajah birokrasi dan elit.  

Kesetiaan dalam kerangka perkawinan yang dalam budaya Dayak merupakan sesuatu yang suci, justru di jaman millennium ketiga semakin ter-degradasi. Kawin lalu cerai, perselingkuhan dan poligami semakin tampak dalam warna kehidupan masyarakat Dayak. Sementara budaya lokal yang semestinya dapat mengembalikan hakikat manusia Dayak semakin jauh dari kehidupan, dilestarikan dengan cara dijadikan pajangan dan objek pariwisata yang sama sekali terpisah dengan keseharian.

Kesetaraan dalam bingkai budaya juga menjadi sasaran bagi invasi kebudayaan. Dapat kita temukan bila berbicara dengan pejabat pemerintah kata “bapak” dan “ibu” menjadi ucapan wajib, bila tidak menggunakannya dianggap tidak menghormati. Pada hal penghormatan dalam pandangan budaya Dayak tidaklah disampaikan dalam ucapan, melainkan dalam sikap. Disamping itu sebelumnya Republik Indonesia pernah memakai kata “bung” yang lebih egaliter dalam penyelenggaraan negara. Hal ini semakin membawa kita pada penyaksian bahwa nilai budaya Dayak yang menggunakan kata “ikau” terhadap kawan, saudara tua atau muda, orang tua semakin terpisah dalam kondisi kekinian. Dimana kamu, anda dan bapak/ibu dipakai sebagai kata yang maknanya sama hanya peruntukan berbeda, tergantung pada usia, posisi, kekuasaan, jabatan dan kekayaan. Sungguh, bukanlah karakter Dayak yang demikian tidak egaliter. 
Baca Juga !

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More