Memang seiring dengan waktu yang berjalan ada banyak sekali program Pemerintah yang mempunyai niat positif baik yang bersifat tetap maupun temporer ataupun yang bersifat sebagai stimulus ataupun charity (pemberian cuma-cuma) dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat miskin pada daerah terpencil ataupun tertinggal. Namun sampai pada saat ini belum pernah dilaksanakan audit yang dipublikasikan secara luas mengenai performance dari program-program bantuan tersebut, apakah telah berhasil mencapai objektif ataupun milestone dari program itu sendiri. Karena itu tidak jarang kita melihat bahwa tingkat keberhasilan dari suatu program pemerintah selalu menjadi perdebatan di tingkat public, elit politik maupun akademisi, karena hasilnya selalu ditinjau dari analisa kualitatif berdasarkan parameter yang tidak jelas.
Dengan begitu banyaknya ijin lahan untuk usaha perkebunan di Kalimantan Barat mulai dari informasi lahan sampai dengan yang sudah HGU (297 perusahaan dengan luasan 4.376.994 ha tahun 2009 atau hampir 3 kali lipat dari target pemerintah provinsi), ternyata dalam rentang waktu 20 tahun baru tertanam sekitar 350.000-500.000 ha (± 8 - 11% dari total luasan), jumlah tersebut sangatlah fantastis (cenderung mengerikan) karena terdapat jurang (spread) yang sangat besar antara laju penambahan ijin dengan implementasi di lapangan dan tentunya akan sangat menarik apabila dilakukan penelitian secara eksak mengenai fenomena tersebut dikorelasikan dengan kesejahteraan masyarakat pada lokasi tersebut ataupun terhadap kesejahteraan Kalimantan Barat pada umumnya.
Kedatangan investor yang berpengalaman (bukan makelar lahan) dalam usaha memajukan subsektor perkebunan di suatu daerah memang sangat diperlukan dan secara positif sangat gigih diperjuangkan Pemerintah karena mengharapkan akselerasi pembangunan ekonomi yang cepat dan “sederhana”, namun usaha tersebut perlu dilaksanakan secara terukur dan selektif karena dampak yang akan timbul sangatlah luas. Investor perkebunan cenderung membutuhkan lahan yang relatif luas (6000 – 100.000 Ha) dengan system penanaman monokultur yang tentu saja sangat berpengaruh pada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Dengan memberikan ijin kepada investor tersebut (biasanya selama 25-35 Tahun dan dapat diperpanjang) maka secara tidak langsung pemerintah menyerahkan secara penuh faktor masyarakat dan faktor ekologi pada luasan lahan tersebut. Hal ini diperparah dengan munculnya investor fiktif (makelar lahan) yang bekerja secara sistemik dalam penguasaan lahan (penguasaan IUP dan Ijin Lokasi) pada saat mulai bergairahnya kembali sektor perkebunan sekitar 14 (empat belas) tahun yang lalu. Hal tersebut sangatlah terlihat dari begitu banyaknya penawaran take over perusahaan pada bursa penjualan IUP, Ijin lokasi ataupun yang sudah HGU yang ditawarkan beserta aset kebun seadanya dengan harga fantastis. Peran para makelar tersebut sangatlah menghambat iklim investasi perkebunan dengan menambah beban waktu dan biaya yang diperlukan dalam investasi serta secara langsung menimbulkan antipati dan ketidak percayaan masyarakat pada niat baik investor yang profesional.
Akselerasi tingkat kesejahteraan yang ideal tidak akan dapat dicapai dengan cara mengundang sebanyak mungkin investor perkebunan besar baik itu berbentuk BUMN, PBSN dan PBSA karena Kesejahteraan masyarakat, ekologi dan sosial budaya bukanlah prioritas utama dari badan-badan usaha tersebut. Pada kasus-kasus sebelumnya para Investor dan Pemerintah Daerah hanya menanggapi masyarakat sebagai atribut dan bukan sebagai faktor yang menentukan sukses tidaknya suatu investasi bahkan menganggap masyarakat sebagai kendala dalam investasi yang harus diatasi dengan berbagai strategi (baik secara ilmiah terstruktur ataupun praktis). Pada awalnya cara-cara tersebut sepertinya berjalan dengan baik namun ternyata menimbun banyak masalah potensial yang akan muncul dikemudian hari.
Dengan melihat fenomena yang timbul pada saat ini diantaranya konflik antara masyarakat dengan pihak investor, tumpang tindihnya alokasi lahan perkebunan (antar sesama investor, investor vs masyarakat, investor vs pemerintah), banyaknya ijin yang harus dievaluasi bahkan dicabut dan lain-lain, sampai pada akhirnya timbul masalah (konflik) besar sebagai akumulasi dari berbagai masalah-masalah masyarakat dan lingkungan yang diabaikan.
Terlalu riskan untuk menyerahkan kesejahteraan masyarakat kita di tangan investor skala besar tersebut, contohnya kasus salah satu PIR trans di ketapang yang berlangsung berlarut-larut (bertahun-tahun) dengan berbagai macam masalah tanpa adanya solusi yang jelas sehingga potensi masyarakat kebun kita di sana menjadi sia-sia dan terjadilah pemiskinan massal dan kerusakan lingkungan yang meluas pada daerah tersebut. Harus diingat multiplayer efek yang selalu di “iklankan” tidak selalu mengarah pada hal yang positif, dan apabila terindikasi datangnya multiplayer efek yang trendnya cenderung negatif maka diharapkan pemerintah daerah harus segera bertindak cepat untuk mengatasinya, karena prestasi pemerintah bukan hanya dilihat dari kemampuannya mendatangkan investor tetapi lebih pada kemampuannya dalam mengelola resiko dari suatu keputusan.
Untuk mencapai Kalimantan Barat yang Sejahtera Bersama Perkebunan maka potensi dasar dari perkebunan itulah yang seharusnya menjadi fokus utama dari pemerintah yaitu masyarakat pekebun. Masyarakat pekebun adalah kumpulan individu yang pandangannya berorientasi pada sektor perkebunan yaitu masyarakat yang usahanya langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan sektor perkebunan. Sebagai fondasi dasar untuk membentuk masyarakat pekebun adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin individu yang memiliki jiwa dan mental entrepreneurship dalam bidang agrobisnis yang ditunjang dengan modal dasar yang memadai; modal dasar yang dimaksudkan antara lain adalah pengetahuan tentang tata cara berkebun yang efisien, komoditas unggulan, peralatan, pengelolaan keuangan, sumber informasi terkini dan lain-lain.
Potensi terbesar dalam membentuk masyarakat pekebun yang apabila dilihat dari jumlahnya adalah masyarakat yang tinggal di daerah terpencil (tertinggal) biasanya disekitar areal Perusahaan perkebunan ataupun pertambangan, diikuti dengan pengangguran intelektual dan pengusaha menengah ke bawah. Untuk dapat menggali potensi tersebut diperlukan suatu komitmen yang kuat dari seluruh pihak terkait yang diformulasikan dalam suatu program yang dapat dijaga kontinuitasnya. karena masalah ini membutuhkan banyak energi, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Langkah utama yang harus diperhatikan dalam membentuk masyarakat pekebun tentunya adalah menciptakan sebanyak mungkin Pengusaha Perkebunan Kecil Menengah yang terlibat langsung dalam pengolahan lahan perkebunan sebagai fondasi dasar.
Masyarakat yang tinggal pada daerah-daerah terpencil di provinsi Kalimantan Barat ini pada umumnya memiliki (menguasai) akses yang luas pada lahan tidur dan perkebunan kecil disekitar perkampungan mereka secara individu ataupun dalam suatu kelompok dalam luasan yang besar (2 – 100 ha), namun kelemahannya terletak pada masalah kepemilikan, legalitas, kemampuan pengelolaan, dan tidak jarang pada masalah financial. Untuk masalah kepemilikan diperlukan peran aktif dari masyarakat pekebun setempat untuk mengatur ulang tata guna lahan mereka sendiri dengan bantuan Pemerintah Daerah mengenai masalah legalitasnya, karena tentunya tidaklah mungkin membentuk suatu usaha perkebunan yang baik tanpa pengaturan kepemilikan, dan tata guna lahan secara bijak.
Tentu saja usaha ini akan sangat membutuhkan dukungan dari instansi-instansi terkait diantaranya untuk masalah infrastruktur, pendanaan dan informasi. Khusus untuk masalah pendanaan memang sangat diperlukan lembaga pendanaan terutama Bank yang spesifik berorientasi pada investasi pertanian skala kecil menengah, karena lembaga pendanaan yang ada pada saat ini baik berbentuk mikro ataupun korporasi lebih cenderung bersifat profit dan komersil.
Dengan alternatif tersebut di atas maka diharapkan terciptalah Masyarakat Pekebun yang handal dan sejahtera, meminimilasi tingkat pengangguran, meningkatnya jumlah UKM yang berhubungan dengan perkebunan dan tentu saja apabila dilaksanakan dengan komitmen yang kuat secara berkesinambungan maka peningkatan kesejahteraan masyarakat secara mandiri bukanlah suatu keniscayaan.
0 comments:
Post a Comment