Propinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau kaimantan atau di antar garis 2º 08? LU hinggar 30º 05? LS dan diantara 108º0?BT hingga 114º 10?BT, seluas 146.807 km2.Berdasarkan letak giografis yang spesifik ini maka, Kalimantan barat dilalui oleh garis khatulistiwa (garis lintang 0º;) tepatnya di atas kota Pontianak, karena pengaruh letak ini pula, maka Kalbar adalah salah satu dari daerah tropis dengan suhu udara cukup tinggi serta di iringi kelembaban yang tinggi.
Secara umum daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah. Sebagian dataran rendah ini berrawa-rawa bercampur gambut dan hutan mangrove. dilihat dari tekstur tanahnya, sebagian besar daerah Kalimantan Barat terdiri dari jenis tanah PMK (podsolit merah kuning) yang meliputi areal sekitar 10,5 juta hektar atau 17,28 % dari luas daerah Kalimantan Barat sekitar 14,7 juta hektar; jenis tanah OGH (organasol, Gley dan humus) meliputi luas areal sekitar 19,9 ribu km² dan jenis tanah alluvial mliputi luas areal sekitar 15,11 ribu km².
Kondisi Kehutanann Kalimantan Barat
Sektor kehutanan di Kalimantan Barat (Kalbar) mulai dilirik oleh banyak pihak sejak tahun 1967. Ketertarikan untuk mengolah hutan Kalimantan pada saat itu sangat wajar karena hutannya tergolong ke alam hutan perawan (virgin forest) yang dilamnya tentu saja tidak hanya menghasilkan kayu tetapi tetapi juga hasil hutan ikutan lainnya termasuk kekayaan habitat dan biodiversity. Hutan yang dilirik pada masa itu adalah hutan di sepanjang perbatasan Indonesia - Malaysia. Salah satu pihak yang cukup memiliki minat tinggi untuk melakukan pengelolaan hutan di wilayah tersebut adalah militer. Jatuhnya orde lama(ORLA) yang kemudiaan dijadikan orde baru (ORBA) di bawah kepemimpinan Soeharto menempatkan ABRI sebagai pihak yang mendapat kepercayaan untuk mengelola hutan di kawasan perbatasan sekaligus melakukan penumpasan dan penangkalan atas masuknya paham komunis ? partai komunis Indonesia (PKI) yang disinyalir bermarkas di perbatasan hutan perbatasan Kalbar dan Kaltim, Indonesia dengan Sarawak, Malaysia timur.
Pembalakan hutan, yang dimulai sejak 1969 dan sampai dengan tahun 2010 ini masih terus berlansung dan akan terus berlansung sampai waktu yang tidak dapat diketahui. Penghentian aktivitas ini tidak dapat hanya dilakukan dengan memberlakukan kebijakan desentralisasi. Proses deforestasi yang diawal tahun 1999 mulai melibatkan komunitas lokal merupakan kelanjutan dari proses deforestasi dari masa sebelumnya, dimana justru masyarakat lokal, yang berdiam disekitar hutan sampai tahun tersebut belum memperoleh keksempatan. Sebelum ada upaya untuk membuka kesempatan keluar diluar kegiatan eksploitasi bagi mereka, maka perhatian masyarakat pada hutan tidak akn berpaling dan selama itu pula proses deportasi akan terus berlansung. Berbagai ancaman yang dialamatkan kepada pemerintah Indonesia tidak akan efektif selama masyarakat yang bermukim disekitar hutan tidak dapat diangkat kesejahteraan mereka, bahkan mereka siap berhadapan dengan petugas penertib bilamana upaya penghentian ini dipaksakan pemerintah.
Hasil pengertian Alqadrie dkk (2003) tentang otonomi kelestarian dan kesejahteraan masyarakat diwilayah perbatasan menemukan hasil yang mengejutkan banyak pihak. Meskipun sejak 1999 dan bahkan 1998, hutan dikelola secara marak dengan keterlibatan
masyarakat lokal, namun hasilnya baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk yakni mereka yang secara lansung terjun dalam aktivitas ekploitasi dan mereka yang
menduduki jabatan struktur formal dalam pemerintahan maupun dalam struktur sosial pada kelembagaan adat. Dengan demikian, dari hasil eksploitasi hutan tetap dinikmati oleh kelompok pemodal yang terdiri dari pemilik IPKH, pemilik HPH, pemilik angkutan baik darat maupun sungai dan makelar kayu. Namun, penelitian ini menyimpulkan bahwa dampak desentralisasi sector kehutanan terhadap pelaksanaan otonomi daerah menjadi 200 s/d 230% dari angka pendapatan tahun 1997 yang dalam hal ini disumbang oleh sub sector kehutanan lebih dari 75%.
Sudah sepantasnya, di Kalbar masalah eksploitasi sumber daya alam hutan (SDAH) terutama yang menyangkut hasil kayu yang menjadi perhatian banyak pihak. SDAH diesploitasi tadak hanya untuk memenuhi industri dlam negeri melainkan juga untuk pasar Serawak dimana eksploitasi untuk memenuhi pasr luar negeri tersebut dilakukan secara illegal, baik masyarakat dan daerah maupun Negara tidak mendapatkan pendapatan yang sepantasnya dari kegiatan ekploitasi ini.
Lolosnya kayu ke Luar Negeri secara illegal menurut penulis tidak hanya disebabkan belum terbukanya secara luas lapangan kerja diluar sub sector kehutanan, tetapi juga disebabkan oleh sebagian masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak dan dulunya tidak terlibat dalam kegiatan ekploitasi, lemahnya system komunikasi ditingkkat bawah, tidak tegaknya hukum dan lemahnya aparat penegak, prosedur dan distribusi dokumen SKSHH oleh dinas kehutanan, masih tersangkutnya beberapa kewenangan daerah pada pusat dan konflik kepentingan antara pusat dan Daerah.
Agar dapat menembus kendala diatas, masyarakat daerah membangun system dan jaringan sendiri dan kemudian melaksanakan sistim dan komunikasi yang telah tebangun secara swadaya ini. Akibatnya, otonomi yang diberikan daerah tidak berjalan sebagaimana diharapkan sehingga masyarakat dan daerah maupun pusat tidak mendapatkan keuntungan yang optimal atas sumber yang mereka miliki ini.
Maraknya kegiatan ekploitasi SDAH akhirnya menimbulkan dikotomi antara stakeholder di tingkat lokal. Beberapa kelompok yang tergabung dan basis kegiatan mereka berkaitan atau memiliki kepentingan dengan SDAH dan aktivitas ekploitasi, memberikan dukungan pada system pengelolaan hutan ala mayarakat, sementara kelompok pelestari dan institusi daerah mengalamatkan kesemrautan yang terjadi ini sebagai proses lanjut dari potret pengelolaan hutan masa lalu yang tidak dapat dihentikan haqnya dengan desentralisai kewenangan. Begitu tim penertib diturunkan ke daerah, kelompok yang berbasis lokal menyatakan keberatan mereka dengan alas an tindakan penertiban ini dilakukan tidak didahului dengan melakukan koordinasi dengan tidak pula didahului dengan upaya pemberdayaan masyarakat daerah.
Dari ilustrasi diatas, terlihat bahwa dukungan kepada rakyat untuk melakukan pengelolaan hutan dari berbagai pihak masih cukup besar namun pengelolaan yang diinginkan ini masih belum menemukan bentuk permanent yang memenuhi kelestarian
(Pengelolaan Hutan Lestari). Dukungan ini juga dimaksudkan sebagai bentuk mediasi kepada daerah dalam rangka mengisi PAD dari sector kehutanan mengingat sumber dana
untuk pembiayaan pembangunan dan pemerintahan daerah otonomi masih sangat terbatas dan atau masih belum terbuka.