Buruknya pelayanan birokrasi ini sesungguhnya sudah merupakan penyakit menahun di Indonesia. Sejak zaman Orde Baru hingga Reformasi, berulangkali pemantau internasional menobatkan negeri ini dengan prestasi buruk, namun kinerja aparatur penyelenggara negara itu bergeming sedikit pun. Tidak hanya uang negara yang habis untuk membayar upah para pegawai negara itu, harga diri Indonesia juga tercoreng di mata dunia karena ulah para birokrat yang tak becus itu.
Permasalahan birokrasi Indonesia saat ini tidak lepas dari rendahnya kualitas SDM aparat birokrasi; semangat kerja dan kesadaran atas tugas dan tanggung jawab yang rendah; kurangnya pemahaman atas fokus tujuan dari tugasnya; lemahnya fungsi koordinasi; organisasi birokrasi yang sangat gemuk; masih tingginya budaya korupsi; dan pemahaman yang rendah atas tugasnya sebagai pelayan publik.
Sedikit kilas balik birokrasi Indonesia. Pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit misalnya, sudah dikenal konsep birokrasi serta pembagian tugas. Namun demikian, raja masih dianggap yang paling berkuasa dan menentukan.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, seseorang dapat menduduki jabatan pegawai pemerintahan Hindia Belanda harus menjalani magang (pengabdian yang belum digaji) kepada seorang priyayi atasan/pejabat. Dari magang tersebut terjadi hubungan patron-klien, di mana para pemagang akan sabar menunggu sampai diangkat sebagai pegawai, bila perlu mereka akan menjilat, cari muka, dan sebagainya.
Dalam masyarakat yang modern, yakni Indonesia pasca proklamasi, birokrasi menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Penting karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga yang paling penting untuk membentuk negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Selanjutnya era Orde Baru, birokrasi memainkan peranan yang sangat sentral. Karena dominannya peran birokrasi, maka partisipasi masyarakat terasa kurang berakar atau menjadi “pelengkap” saja. Akibatnya, segala sesuatu saat itu terkesan lamban, kaku, dan tertutup.
Di era reformasi, demokrasi yang merupakan bentuk pemerintahan yang dicita-citakan di seluruh dunia mulai tumbuh di Indonesia. Seiring dengan itu, birokrasi yang memiliki berbagai macam dasar moral di dalamnya, seperti keyakinan akan nilai dan martabat manusia, kebebasan manusia, adanya aturan hukum yang pasti, asas musyawarah, dan prinsip perbaikan juga mulai tumbuh.
Namun, sifat-sifat dan pemahaman negatif di zaman sebelumnya, seperti lamban, kaku, tertutup, dan koruptif masih tetap tertinggal. Buktinya, seperti disebutkan di atas, birokrasi Indonesia ditempatkan oleh survei PERC sebagai yang terburuk kedua di Asia. Indikasi buruknya birokrasi di Indonesia ini juga ditemukan IFC (International Finance Corporation), terutama dalam kemudahan berusaha seperti membuka usaha, mendaftarkan properti, mengakses pinjaman, pembayaran pajak, hingga kepatutan terhadap kontrak kerja.
Menurut PERC, birokrasi di Indonesia tidak efektif, berbelit-belit, dan rawan korupsi. Secara keseluruhan, hasil survei itu menunjukkan Singapura dan Hong Kong sebagai negara dengan sistem birokrasi yang paling efisien di Asia. Kemudian berturut-turut di bawahnya, Thailand, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Malaysia, China, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan India (9,41).
Kegagalan tersebut menurut PERC, selain Indonesia belum bisa meningkatkan efisiensi birokrasi, juga kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menggulirkan reformasi birokrasi yang harus dibayar mahal dengan pengunduran diri Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Menanggapi predikat tersebut pemerintah sendiri mengakui telah gagal mereformasi birokrasi. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan pemangkasan birokrasi dan revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dari segi ekonomi, pengamat ilmu administrasi negara yang juga guru besar FISIP UI Eko Prasodjo seperti dilaporkan harian Media Indonesia (10/6/2010) memperkirakan, Indonesia mengalami kerugian sekitar 30% dari APBN dan APBD setiap tahun akibat buruknya manajemen birokrasi. Dia mengaku tidak heran pada hasil survei PERC tersebut.
Pendapat lebih tegas disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Menurutnya, semua presiden Indonesia gagal mereformasi birokrasi. “Semua presiden gagal menepati janjinya dalam memperbaiki birokrasi,” ujarnya. Kegagalan tersebut menurutnya, karena instansi-instansi yang ada masih terbelenggu masa lalu.
Melihat persoalan birokrasi sekarang ini, maka jika birokrasi sebagai “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat berfungsi baik, birokrasi seharusnya berada dalam posisi netral. Kalaupun posisi itu tidak dapat sepenuhnya dicapai, paling tidak birokrasi semestinya mempunyai kemandirian sebagai lembaga yang tetap tegak membela kepentingan umum yang lebih meningkatkan diri sebagai “abdi masyarakat”.
Sejalan dengan itu, Indonesia harus membangun birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan politik, karena birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan pembangunan lainnya. Dengan hasil survei PERC baru-baru ini, bangsa ini pun diharapkan bisa tersadarkan bahwa penyakit menahun itu masih ada di hadapan dan perlu pengobatan. (BeritaIndonesia)