Hancurnya Sumber Penghidupan Masyarakat

Tanah dan kekayaan alam bagi kaum tani merupakan sarana produksi utama. Dari hasil kerjanya kaum tani untuk menghasilkan kebutuhan untuk penghidupannya. Bagi masyarakat Kalimantan Barat ketergantungan penghidupan ekonomi dari tanah dan kekayaan alam berupa hutan

Tidak Ada Pemulihan,Hutan Indonesia akan Hancur

Pada tahun 1950, Luas Hutan indonesia masih menutupi 80 % daratan Indonesia, dengan luas 162.290.000 Hektar, dan sampai hari ini grafik kerusakannya semakin meningkat. Tahun 1999 Kepentingan Perubahan kawasan hutan untuk pertambangan mulai muncul menyusul sejak keluarnya izin tambang dalam kawasan hutan, dimana saat itu luas izin tambang dalam kawsan hutan

Memajukan Desa Tertinggal

Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia secara legal formal telah merdeka lebih dari setengah abad. Pada bulan Agustus 2012 nanti, Indonesia telah memasuki usia kemerdekaanya yang ke-67.

Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan

Kesejahteraan Rakyat Acap Tersisihkan

Keberpihakan pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat cenderung makin pudar. Itu tercermin dalam penggunaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat yang acap tersisihkan oleh kepentingan untuk memenuhi .

Tuesday, November 23, 2010

Akankah Noyan Kekurangan Air Bersih ?


Itulah kalimat yang selalu terlintas dibenakku saat ini setelah melihat kondisi lingkungan Noyan di mana sungai-sungainya sudah tercemar oleh penggusuran lahan perusahaan kelapa sawit yang berada di hulu sungai. Bayangkan jika hulu sungai sudah tercemar, bagaimana dengan hilir sungai yang juga dimamfaatkan oleh desa desa yang ada di kecamatan Noyan yang berada di hilir sungai ! Bahkan beberapa desa sangat tergantung pada sungai untuk kebutuhan sumber air bersihnya seperti desa Entubu dan desa Empoto.

 Bahkan kadar air saat ini sudah termasuk tidak layak dikonsumsi, untuk mandi saja sudah tidak layak karena bisa membuat kulit gatal-gatal apalagi untuk sumber air minum. Sungguh sangat memprihatinkan terutama bagi warga noyan yang tinggal di bantaran sungai sangat merasakan dampak pencemaran air sungai ini. Selain memanfaatkan air sungai sumber air bersih, ada juga beberapa warga mengebor tanah sebagai air bersih itupun airnya harus diendapkan dulu baru bisa dipakai  dan juga airnya masih berbau.
Di Noyan sumber air bersih dapat juga diperoleh dari air Riam Embun yang dialirkan ke Noyan menggunakan pipa paralon atau warga Noyan biasanya menyebutnya air PAM, tapi seiring waktu banyak pipa-pipa yang sudah rusak dan perlu diperbaiki atau diganti dengan yang baru dan juga semakin meningkatnya kebutuhan air bersih membuat debit pipa air riam embun atau air PAM semakin kecil, warga Noyan sangat mengeluhkan akan hal itu. Mereka berharap pembaruan pipa -pipa yang sudah lama untuk digantikan dengan yang baru dan yang lebih besar agar debit airnya mencukupi kebutuhan air bersih di Noyan hingga mampu mengalirkannya ke desa Entubu, tapi wacana itu sulit terwujud walaupun masyarakat dan aparatur desa sudah berusaha untuk memperjuangkannya kepada Pemerintah, entah kenapa hingga kini belum terealisasikan?

Belum lagi dikabarkan bahwa ada perusahaan pertambangan yang akan membuka tambang di Noyan tepatnya di hulu sungai lagi, ini akan menambah pencemaran air sungai yang sangat besar dan sangat mungkin Noyan akan  kekurangan air bersih yang berkepanjangan. Kebutuhan air bersih terpenuhi jika perusahaaan-perusahaan mau menempati janjinya untuk melakukan pipanisasi  memanfaatkan air dari Riam Embun sebagai air bersih utama. Hingga kini baik pemerintah maupun perusahaan swasta seolah-olah menutup mata terhadap ancaman kekurangan air bersih di Noyan dan sekitarnya. Akankah Noyan bisa kekurangan air bersih ? jawabannya adalah "ya" jika hal-hal seperti di atas tidak terpenuhi.

Monday, October 11, 2010

Apakah Masyarakat Adat (MA) itu ?

Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Pernyataan yang dicetuskan oleh rakyat Indonesia (masyarakat adat/MA) dari berbagai penjuru nusantara dalam Kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999.  Ini boleh dibilang sebagai bentuk ”perlawanan” dan juga ”protes” atas sikap negara (Pemerintah) yang cenderung mengabaikan eksistensi MA.  Pernyataan ini tentunya sangat argumentatif, karena MA telah ada jauh sebelum negara Republik Indonesia ini dideklarasikan sebagai negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945 silam.  Sisi lain dari keberadaan MA juga sebagai bagian dari warga di negeri ini.  Sebagain bagian dari makhluk di dunia, kehadiran setiap pribadi masyarakat memiliki harkat dan martabat yang sama.


Didefinisikan  Masyarakat Adat merupakan sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.  Demikian halnya istilah MA seringkali digunakan dalam istilah yang beragam.

Di beberapa negara lain, banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan atau orang asli untuk sebutan di Malaysia.  Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples tertuang dalam deklarasi PBB (draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples).  Di Indonesia berdasarkan versi pemerintah menyebutnya dengan Istilah “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat tradisional”.

Istilah Masyarakat Adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop) menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam.  Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. 
Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing (Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12, Juni 2002, Jakarta). 
Pemahaman mengenai Masyarakat Adat tentunya tidak hanya merujuk pada etnis/kelompok tertentu, tetapi sangat luas meliputi segenap warga yang masih memelihara sistem nilai adat dan budayanya dengan keberadaan SDA yang masih tetap terjaga.

Lantas bagaimana dengan nasib MA saat ini?  Masyarakat adat sebagai bagian dari komponen masyarakat sipil cenderung (senantiasa) berada pada posisi lemah, dan rentan terhadap perlakuan refresif manakala berhadapan dengan pemodal dan aparatur negara khususnya dalam upaya menuntut hak dan keadilan terhadap kondisi sosial-ekologi yang berkelanjutan.  Perjuangan warga terhadap akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya seringkali dikesampingkan. Dengan posisi yang lemah tersebut menjadikan masyarakat cenderung kurang ”berani” dan potensial untuk selalu mendapat dampak buruk.

Upaya dan tantangan atas perjuangan yang dialami masyarakat adat di Kalimantan Barat, mempunyai dinamika tersendiri.  Sebagai bagian penduduk di bumi ini, warga Kalimantan Barat dengan latar belakang yang beragam dan tinggal (umumnya) di pedalaman dalam kesehariannya senantiasa berhubungan langsung dengan alam dan lingkungannya. Potensi sumber daya berupa hutan, tanah dan air adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat adat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil bumi.  Hutan, tanah dan air merupakan alat produksi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.

Massifnya kebijakan investasi skala besar dalam bentuk perkebunan sawit, pertambangan, HPH, HTI dan lainnya sebagai bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam versi penguasa namun memberikan ruang yang sangat memungkinkan terjadinya perampasan atas hak kelola masyarakat (adat) atas potensi alam melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis kepentingan ekonomi semata, namun cenderung mengesampingkan aspek lingkungan sosial-budaya, adat istiadat dan ekologi adalah jalan pasti menuju kehancuran.

Hal ini dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan selama ini. Atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan, pemodal yang sedari awal tidak memiliki sejengkal tanahpun memang sangat ”profesional” dalam mewujudkan impiannya dengan ”mengambil alih” kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dengan berbagai cara untuk membuka investasi melalui izin penguasa (Negara). Berbagai iming-iming dan citra positif untuk membuai masyarakat agar dapat diterima seringkali disampaikan secara sepihak yang berakibat pada pelepasan tanah dan sumber daya alam warga dan bahkan berujung pada konflik sosial bila kemudian warga akhirnya sadar dan melawan.

Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali digunakan untuk membuai warga soal investasi yakni; memberikan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan pendapatan asli daerah/PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Keempat mitos ini tentunya tidak harus ditelan mentah-mentah, bila dikaji lebih kritis maka sesungguhnya keempat dalih tersebut tidak lebih dari ”akal bulus” yang kurang mendasar.

Dampak dari pemberian ruang bertumbuh kembangnya investasi skala besar (perkebunan sawit, pertambangan, HTI) yang menguras sumber daya alam disekitar lahan kelola masyarakat dan bahkan mengabaikan hak-hak MA seringkali memiriskan hati dengan berbagai fakta dan realita yang terjadi selama ini. Sebaliknya, masyarakat yang sadar berjuang dan menolak investasi seringkali dipersalahkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menginginkan hutan, tanah dan air nya tetap utuh menjadi fenomena sebagai konsekeunsi sebuah perjuangan melawan kaum bermodal yang mendapat restu dari penguasa. ( Hendrikus Adam - Aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat )















Friday, September 24, 2010

Ancaman Pembukaan Hutan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit




Pembangunan hakekatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang diarahkan dengan tujuan ’mulia” yakni meningkatkan kapasitas dan kualitas tatanan kehidupan sosial yang lebih baik dengan sasaran akhirnya untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya. Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan?  Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini. 


Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justru seringkali ”diabaikan”.   Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga.  Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi oleh Negara (Pemerintah) ? 

Dengan demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting.  Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya.  Sedikitnya ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur diantaranya; 
1)  Tanah masyarakat diambil perusahaan, 
2)  Konflik terjadi di masyarakat, 
3)  Kriminalisasi terhadap masyarakat, 
4)  Budaya di masyarakat hilang, 
5)  Krisis pangan di kampung, 
6)  Hutan menjadi hilang, 
7)  Binatang dihutan Musnah, 
8)  Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang, 
9)  Terjadi bencana banjir,
 10)  Terjadi bencana kekeringan,
 11)  Terjadi bencana asap, 
12)  Terjadi krisis air bersih, 
13)  Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap, 
14)  Sungai-sungai menjadi rusak, 
15)  Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir, 
16)  Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan 
17)  Lahan Gambut Rusak. 

Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya.  Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit.  Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan.  Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi). 

Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat masyarakat. (WALHI)











Friday, September 10, 2010

PT.MKS Cemari Sungai Noyan, Warga Resah Hadirnya Aparat !!!

Pembangunan investasi perkebunan monokultur dengan dalih untuk memberikan kesejahteraan namun berbuah “petaka” karena justeru merugikan bagi rakyat seperti konflik penyerobotan lahan maupun tanah warga dan pencemaran sumber air adalah fenomena yang tidak asing di republik ini. Warga Desa Noyan dan sekitarnya di Kabupaten Sanggau adalah suatu komunitas masyarakat Dayak 'Bemate’ yang juga bagian dari anak negeri, namun harus menelan pil pahit sebagai akibat dari pembukaan investasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu semata.

Desa Noyan sendiri terdiri dari tiga dusun yakni; Dusun Noyan yang meliputi Kampung Kojup dan Plaman Noyan, Entubu dan Krosik. Sumber pencaharian warga Noyan pada umumnya sebagai peladang, petani karet, pedagang, dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) anak perusahaan Surya Dumai Gropus. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan laporan warga setempat, sejumlah fakta lapangan sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa diantaranya;


 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan bahkan kini rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 

2) Tanah warga di serobot tanpa pemisi yang pada akhirnya hanya dihargai seadanya. Bahkan masih ada tanah warga yang diserobot namun belum di GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), 

3) Telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 

4) Terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan konflik antar keluarga, 

5) Masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan.

Dalam prakteknya, pihak perusahaan malah menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS). Berdasarkan hasil FGD bersama warga, sejumlah fakta yang didapati sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di gusur tanpa pemisi dan pada akhir nya di hargai seadanya (bahkan ada yang belum di GRTT), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan permusuhan antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan, 6) pihak perusahaan menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Dibalik berbagai persoalan tersebut, masyarakat di Desa Noyan masih berada dalam posisi yang lemah. Mereka disatu sisi tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh mengenai sejumlah dampak investasi di daerahnya. Bahkan masyarakat setempat tidak mengetahui banyak soal keberadaan PT. MKS yang beroperasi di daerah mereka. Mereka juga tidak berdaya disaat perusahaan menggusur tanah mereka tanpa permisi.

Kondisi kebun juga tampak kurang terawat, dan hal demikian di akui warga. Disamping itu, masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan atas hadirnya perusahaan ini. Tidak melibatkan semua unsur. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa izin PT. MKS dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di Sei Daun tumpang tindih. Masyarakat juga menilai bahwa hadirnya PT. MKS tidak memberi kontribusi bagi masyarakat setempat. Yang ada justeru merugikan. Hutan masyarakat dibabat dan tanah di serobot tanpa permisi.

Disamping PT. MKS yang baru hadir di daerah Noyan dan sekitarnyasekitar tahun 2008/2009, juga terdapat PT. Global yang masuk sejak tahun 2005, PT. SISU (Sepanjang Inti Surya Utama) masuk tahun 2006/2007, PT. Semai Lestari (SL) dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di tahun 2009. Persoalan tumpang tindih pengelolaan kawasan semakin di perparah dengan upaya eksplorasi yang dilakukan PT. Kendawangan Putra Abadi (sebuah perusahaan pertambangan) yang akan menggunakan areal kawasan PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) sebagai kawasan konsesi.

Pemerintah daerah dan semua pihak terkait yang berniat baik dan memiliki tanggungjawab hendaknya memperhatikan persoalan yang dihadapi warga Noyan. Tercemarnya Sungai Noyan dan Sungai di Dusun Mayan mengancam kehidupan warga atas akses sumber air bersih bagi warga. Aparat kepolisian (brimob) yang hadir untuk perusahaan telah meresahkan warga. Pihak keamanan dan pihak terkait lainnya, khususnya Kapolda Kalimantan Barat hendaknya menarik aparat yang dianggap telah meresahkan dan membuat warga merasa trauma. 

 ( Oleh : Hendrikus Adam, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat)

Wednesday, August 25, 2010

Program Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) Kini Hadir Di Noyan


Era baru membuka akses dunia tanpa batas di wilayah geografis yang cenderung sulit dijangkau di Tanah Air telah dimulai, Pemerintah menargetkan pada 2010 program Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) terealisasi. Termasuk Kecamatan Noyan kini sudah mulai dibangunnya antena penerima signal internet bekerjasama dengan pihak swasta. Diharapkan di tahun 2010 ini masyarakat Noyan akan mudah mendapatkan akses berita melalui internet yang lebih mudah dan prakis.

PLIK ini prinsip pengelolaannya persis seperti warnet (warung internet). Bedanya, warnet PLIK dan operatornya disediakan oleh pemerintah lewat perusahaan swasta pemenang tender. Dalam perjanjiannya, Pihak swsta akan melakukan pemeliharaan dan penyediaan operator selama empat tahun.

Mudah-mudahan program PLIK ini bisa membantu masyarakat daerah Noyan yang dulunya dianggap gaptek (gagap teknologi) kini menjadi cerdas dibidang teknologi terutama dunia internet.

Friday, August 20, 2010

Merayakan HUT RI Ke 65 : Warga agak Kecewa





Dalam rangka memeriahkan HUT RI yang ke 65 di Noyan seperti biasa panitia mengadakan beberapa permainan rakyat diantaranya panjat pinang. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya,panjat pinang tahun ini agak sedikit unik dan mengundang gelak tawa penduduk Noyan. Itu dikarenakan pohon pinang tersebut sebenarnya akan di danai oleh PT.MKS untuk mengisi hadiah-hadiah yang akan dipasang pada pohon pinang tersebut. Tapi yang namanya PT. MKS lagi-lagi tidak pernah menepati janjinya, sehingga mengakibatkan warga agak kesal dan memasang anak pohon kelapa sawit dan uang mainan sebagai hadiah di atas pohon pinang tersebut.

Warga sempat melakukan orasi protes pada PT. MKS yang sudah tidak pernah lagi bersosialisasi dengan warga dan bahkan semakin semena-mena, tidak merasa lagi bahwa mereka kerja di wilayah Noyan,padahal warga berharap dengan adanya momen HUT RI tahun ini bisa memperbaiki citra dan hubungan warga Noyan dengan PT. MKS karena sebelumnya hubungan PT. MKS terhadap warga tidak baik . Bahkan kabarnya tak satupun baik Atasan, GM, Manager maupun karyawan PT.MKS yang mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih di halaman Kantor Camat Noyan padahal sudah di undang oleh pihak Kecamatan, tidak seperti Perusahaan lain yang ada di wilayah ini, mereka semua menghadiri upacara bendera tersebut bentuk penghormatan mereka terhadap pemerintah Kecamatan dan warga.

Friday, July 23, 2010

Peradilan Adat : Keadilan Yang Ternafikan








”Jika rasa keadilan tidak lagi menjadi milik semua orang, dan ketika rasa keadilan itu terpasung dalam bingkai institusi pengadilan kenegaraan yang harus dibayar mahal olehrakyat. Maka, Peradilan adat adalah pilihan tepat.”

Dalam konteks kekinian peradilan adat mungkin telah menjadi kata-kata yang maknanya sulit dipahami oleh banyak pihak. Alasannya mungkin saja karena informasi tentang peradilan adat sangat minim atau disebabkan adanya upaya sistematis oleh para pihak terutama negara yang mencoba mengaburkan makna hakiki dari peradilan adat itu sendiri. Faktanya sampai saat ini peradilan adat hanyalah tinggal cerita-cerita lama, yang terbungkus dalam bingkai usang sejarah negara ini. Memang tidak banyak pihak yang mengerti apa dan bagaimana perkembangan praktek peradilan adat saat ini, sehingga kesimpulan yang meraba-raba sepertinya menjadi pilihan oleh penyelenggara negara untuk mendefinisikan apa dan bagaimana peradilan adat seharusnya diposisikan. Dengan demikian hasil yang terlihat adalah tidak proporsional dan menyudutkan eksistensi peradilan adat. Mengaburnya makna peradilan adat kini semakin kentara, apalagi bagi masyarakat yang kini jauh di perkotaan dan tercerabut dari realitas peradilan adat yang sesungguhnya. Tetapi di beberapa wilayah riak peradilan adat sesungguhnya masih kental mewarnai kehidupan masyarakat, terlebih pada komunitas-komunitas adat yang mendiami berbagai kawasan di Indonesia.

Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, peradilan adat sesungguhnya mengemban peranan penting bagi peradaban komunitas adat di Indonesia. Terutama karena fungsinya sebagai pilar yang menjaga keseimbangan hubungan sosial maupun perilaku kearifan lokal masyarakat adat seperti, menjaga harmonisasi hubungan antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian peradilan adat tidak lagi hanya berfungsi sebagai pilar penyeimbang tetapi telah menjelma menjadi entitas budaya masyarakat adat.
Pasang surut eksistensi peradilan adat, tidak terlepas dari pengaruh kuatnya cara berpikir positivisme di tataran penyelenggara negara, sikap yang mengagungkan legalitas formal tersebut memaklumkan bahwa, tidak akan ada peradilan lain selain peradilan negara. Sehingga peradilan adat yang telah ada sejak ratusan tahun lalu di Indonesia dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal,Von Savigny (W.Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat yang berkenaan dengan hukum diantaranya pertama, Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum merupakan proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu perundang -undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan. Kedua,undang-undang tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas,sehingga volkgeist dari suatu bangsa akan terlihat dalam hukumnya.
Realita Peradilan Adat di Indonesia
Unifikasi sistem hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan alasan kepastian hukum serta kepentingan kemudahan dalam penyelenggaraannya, seakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini dapat dilihat kasat mata di setiap napas peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang tidak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukan nilai-nilai keadilan substantifnya. Penyeragaman dalam pembentukan, penerapan serta penegakannya ini, semakin berdiri angkuh dengan segala keadilan normatif yang terkandung di dalamnya seperti yang terpancar dari setiap bunyi bab serta pasal-pasal yang terkodifikasi dengan rapi. Pemaksaan unifikasi yang mengharamkan keberagaman di negara ini, sesungguhnya telah merenggut peradilan adat dari habitat sesungguhnya yaitu masyarakat adat. Sehingga kehancuran sistem asli masyarakat adat terjadi hampir di semua komunitas adat di negeri ini.
Di Kalimantan Barat saja kepunahan praktek peradilan adat akibat intervensi negara telah mendekati titik nadir. Sistem pemerintahan asli yang mendukung praktek peradilan adat seperti Kampokng di kabupaten Sanggau, Banua di Ketapang serta Menua di Dayak Iban dan Titing di masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho kabupaten Kapuas Hulu menjadi hilang, sebagai akibat keluarnya peraturan dan kebijakan negara yang tidak berpihak. Peraturan dan kebijakan anti peradilan adat ini secara pasti berdampak terhadap hilangnya kuasa para Kepala Adat dan para Temenggung, karena dengan adanya penyeragaman tersebut tugas dan fungsinya sebagai satu-kesatuan dari sistem hukum adat tergantikan oleh aparatus desa.
Pembelajaran dari Kalbar
Walaupun secara terus-menerus diingkari keberadaannya, namun peradilan adat tetap saja menjadi pilihan utama bagi masyarakat adat, terutama yang aksesnya ke institusi peradilan negara tak terpenuhi. Nun jauh di perhuluan sungai Kapuas kecamatan Kedamin Kalimantan Barat, masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho tetap menggunakan sistem peradilan adatnya. Dengan berbagai semboyan seperti “kenucu maram kenucu te mulok “ yang artinya telunjuk busuk telunjuk dipotong, merupakan salah satu cerminan sikap tegas dalam penegakan hukum adat oleh komunitas ini.
Dalam menjalankan sistem peradilan adat, berbagai komunitas sesungguhnya memiliki keyakinan dan nilai keadilan sesuai dimensi masing-masing. Seperti contoh masyarakat adat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak dan Pontianak, dalam menjatuhkan sanksi adat selalu mengacu prinsip kade’labih Jubata bera kade’ Kurakng Antu bera” yang artinya, jika berlebihan Tuhan akan marah, tetapi jika kurang roh nenek moyang /hantu yang marah. Prinsip ini secara jelas menyatakan bahwa dalam menjatuhkan sanksi adat, haruslah menganut nilai-nilai keadilan dan keseimbangan.
Tidak hanya sampai pada tataran itu, jika telah diputuskan hukumannya oleh ketua adat, maka untuk perkara-perkara yang diyakini dapat membawa dampak buruk bagi komunitas tersebut seperti kasus hamil diluar nikah”Ngampakng” atau kasus -kasus pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain, akan selalu dilakukan upacara perdamaian antara kedua belah pihak serta kedua belah pihak dengan masyarakat kampung dan alam sekitarnya atau “Mua Tana” dalam masyarakat Dayak Punan. Tergambar jelas bahwa penyelesaian sengketa dalam peradilan adat tidak hanya memvonis benar-salah atau menang-kalah tetapi juga bagaimana mendamaikan para pihak termasuk berdamai dengan alam. supaya kampung dan masyarakat tersebut terbebas dari wabah penyakit, bencana alam dan hal-hal negatif lainnya.
Realitas kearifan seperti inilah yang menggugah 25 suku Dayak di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, untuk secara bersama-sama mendokumentasikan proses peradilan adat di masing-masing sukunya. Pendokumentasian yang dimulai pertengahan tahun 2005 ini, kini berhasil menuliskan secara umum praktek-praktek serta nilai-nilai yang diacu oleh peradilan adat seperti nilai keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum yang biasa praktekan oleh peradilan adat. Dengan keyakinan yang tinggi komunitas Dayak di 25 suku di Kabupaten Sanggau mencoba menyelami kembali, bagaimana peradilan adat yang pemberlakuannya telah diabaikan oleh pemerintah hingga saat ini, tetap menjadi sarana penyelesaian sengketa yang cocok dan mengerti situasi mereka.
Semangat pendokumentasian peradilan adat yang bertujuan merenda kembali semangat dan nilai-nilai keadilan yang memang lahir dan hidup dari kebudayaan asli mereka. Diharapkan pendokumentasian ini menjadi penyemangat bagi mereka untuk terus mempraktekkan peradilan adat sebagai pilihan utama dalam penyelesaian perkara di masyarakat adat. Selain itu, pendokumentasian ini menjadi bukti bagi pihak lain, bahwa di 25 Suku Dayak di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat masih berlaku praktek peradilan adat hingga saat ini.
Akui dan Hormati Peradilan Adat.
Sesuai dengan UUD 1945 semangat pasal 18 I ayat (3) disebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. Aturan tersebut di kuatkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada pasal 6 ayat (1) menyebutkan“ Dalam rangka penegakan hak asai manusia, perbedanan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah”.Sudah barang tentu pengakuan, penghormatan serta memajukan hukum adat dan peradilan adat adalah kewajiban bagi pemerintah. Karena peradilan adat merupakan manifestasi utuh dari identitas budaya masyarakat adat. Maka pengabaian, penyingkiran serta pemusnahan
peradilan adat kategorinya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengakuan dan penghormatan yang dimaksud di atas juga dapat bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau oleh peradilan negara. Peradilan adat dapat menjadi pilihan pemecahan yang tepat untuk penyelesaian perkara. Alasan lain, sampai saat ini masih banyak masyarakat terutama di luar pulau Jawa yang masih menggunakan peradilan adat sebagai sarana penyelesaian sengketa adalah karena biayanya yang murah, tidak bertele-tele serta sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Realitas semangat untuk tetap menjaga dan menjalankan peradilan adat ini hingga saat ini masih tergambar dari pepatah Dayak Iban “Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk Bepanggal ke Pengingat” yang artinya berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah. Sehingga urgensi pengakuan, penghormatan dan pemajuan peradilan adat serta memasukannya kedalam sistem hukum di Indonesia adalah sebuah langkah pasti menuju peran peradilan yang menyediakan keadilan secara substantif. (Oleh: Laurensius Gawing)

Monday, July 19, 2010

Daerah Perbatasan Menjadi 'Angker' Karena Tidak Diurus Pemerintah





Daerah - daerah  perbatasan di Kalimantan Barat terutama di daerah Kecamatan Noyan, Sekayam dan Entikong menjadi terbengkalai karena baik pembangunan fisik maupun ekonominya tidak diurus secara maksimal oleh pemerintah. 

Paradigma lama bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah ‘angker’ dan tidak boleh dijamah sehingga berdampak kepada wilayah perbatasan yang pada akhirnya tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan pelayanan pemerintahan lainnya. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, ada 3 kecamatan di Kabupaten sanggau  yang berbatasan langsung dengan Malaysia Timur yaitu kecamatan Noyan ,sekayam dan Entikong.  Wilayah perbatasan di Kalimantan barat  sebenarnya memiliki sumber bahan baku yang berpotensial untuk mengembangkan industri manufaktur mulai dari bahan tambang logam timah,kelapa sawit,cokelat, kayu dan karet.  Pengembangan industri seharusnya tidak hanya difokuskan di dalam pulau Jawa, tetapi juga diluar pulau Jawa harus difokuskan juga.  Wilayah- wilayah perbatasan selama ini dianggap hanya sebagai halaman belakang rumah, padahal lebih cocok sebagai halaman depan.  

Selama ini, Pemerintah hanya membangun industri di wilayah-wilayah ekonomi sehingga potensi ekonomi di wilayah perbatasan masih jauh dari sentuhan pembangunan, sehingga paradigma lama  harus diubah dari halaman belakang rumah menjadi halaman depan. Hal tersebut  sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang ke dalam Perpres No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN).

Pada kenyataannya bahan baku yang tersedia di wilayah perbatasan justru dikirim ke Malaysia secara ilegal untuk digunakan oleh sektor industri disana, mungkin ini akibat keterlambatan pemerintah mengembangkan industri di daerah perbatasan sehingga masyarakan setempat lebih memilih Malaysia untuk menjual hasil perkebunan maupun hasil industri mereka.  Malaysia sudah membangun industri kelapa sawit di wilayah perbatasan dekat dengan Indonesia, karena Malaysia mau cari peluang bahan baku dari daerah Kita. Seharusnya, kalau Pemerintah peka ,kita yang harus bangun lebih dulu, karena kelapa sawit tali perutnya ada di kita, tapi dia bangun duluan, supaya secara politis kita bergantung dengan Malaysia dan kita anggap itu enteng.

Ironisnya, banyak penduduk Indonesia yang dimanfaatkan untuk membesarkan unit-unit usaha di Malaysia. Hal ini dipicu oleh upah pekerja dan harga jual barang di Malaysia lebih tinggi 4-5 kali lipat dibandingkan dengan harga jual di wilayah Indonesia.   Pemerintah harus mengalokasikan dana khusus untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dasar agar kegiatan ekonomi di wilayah perbatasan bisa berjalan dengan baik. 

Saturday, July 17, 2010

PICTURES OF NOYAN


Friday, July 16, 2010

PICTURES OF NOYAN







Tuesday, June 15, 2010

Terpasungnya Harga Diri Masyarakat Adat



Kita harus sadari bahwa dampak terburuk dari pembangunan saat ini adalah hilangnya budaya kritis Masyarakat Adat dalam menyikapi berbagai masalah yang mereka hadapi. Banyak masyarakat sulit mendapatkan informasi yang memadai, banyak proyek pembangunan yang menjadikan masyarakat biasa menjadi objek, tidak ada kesadaran kritis mereka untuk berpikir tentang baik dan buruk, tidak ada posisi tawar-menawar mereka untuk menerima atau menolak sehingga pada akhirnya mereka ( Masyarakat adat ) menjadi korban pembangunan saat ini.
Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dapat memasungkan hak-hak Masyarakat Adat dan menghancurkan nilai-nilai kearifan lokal dan seragamisasi nilai dan perilaku budaya serta banyak lagi kasus-kasus yang memposisikan Masyarakat Adat semakin tidak berdaya.
Meskipun katanya Indonesia sudah merdeka ,namun kehidupan Masyarakat Adat masih berkutat dalam kubangan kemiskinan, berdiri dipinggiran pembangunan, menjadi penonton di negerinya sendiri, dan bahkan menjadi pengemis di kampungnya sendiri. Rentetan penjajahan modern di tanah Kalimantan tidak hanya merampas seluruh kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan yang mereka miliki, tetapi juga menempatkan mereka sebagai “orang buangan” di atas tanah sendiri.

Mereka kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber penghidupannya, bahkan harkat dan martabat mereka dihancurkan secara sistematis oleh skema pembangunan yang tidak berpihak. Masyarakat Adat terus menjadi inferior, tidak berdaya dan tertindas secara ekonomi, politik dan sosial kultural.

Kenyataan ini menjadi sebuah bahan refleksi kita dan pekerjaan rumah, akankah Kebijakan pemerintah dapat mengurangi jumlah masyarakat yang miskin atau malah menambah persentase kemiskinan menjadi lebih besar. Jika kebijakan Pemerintah dalam mendesain program-program tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat dan tidak menyentuh golongan bawah, maka bukan tidak mungkin angka kemiskinan akan bertambah.

Persoalan mendasar dari kemiskinan adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dibangun, kesempatan kerja yang sempit, peluang berusaha yang kecil. Dampaknya terjadilah pengangguran yang besar, perputaran ekonomi yang lamban dan dampak-dampak lainnya yang mampu menghambat pertumbuhan ekonomi sebuah daerah. Alhasil, masyarakat terjun kedalam kehidupan yang sulit dan menggiring mereka kedalam jurang kemiskinan.

Jika ingin Masyarakat makmur, kebijakan yang ada harus berpihak dan menyentuh kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Sarana dan prasarana harus dibangun. Pendidikan diutamakan, kesehatan, infrastruktur, strategi investasi harus berjalan dengan baik. Desain pembangunan harus dialokasikan ke pedalaman dan kebijakan lebih berpihak terhadap masyarakat golongan bawah. Selama ini fasilitas lebih dominan diberikan kepada para investor, padahal mereka mengeruk kekayaan alam dengan seenak hati, sementara masyarakat Adat sendiri ditinggalkan dan dibiarkan merana hidup di jurang kemiskinan dengan harga diri yang terpasung.

Thursday, June 10, 2010

Sawit Hancurkan Hutan Kita



Tidak dapat dipungkiri bahwa hutan dan karet merupakan nafas dan tempat menggantungkan hidup kita. Namun apa jadinya kalau hutan habis ditebang ?, yang jelas ketika hutan habis dibabat dan diganti dengan tanaman lain, masyarakat tidak bisa berladang lagi.
Akan punah pulakah Gawai/upacara-upacara Adat seperti Mpori Sowo atau Manengeh, Naik Dango, Naik Dangi, Ngambik Semengat Padi, Ngumpan Batu, Pesta Panen dan upacara-upacara adat lainnya ? Karena salah satu inti upacara perayaan gawai adalah pesta panen. Bagaimana mau berpesta panen jika lahan-lahan untuk berladang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Sangat menyayat hati jika melihat apa yang terjadi disaat perusahaan-perusahaan sawit dan tambang sedang gencar-gencarnya membabat hutan dan dibiarkan saja oleh pemerintah. Dampaknya sangat luar biasa bagi masyarakat setempat ada yang Pro dan ada yang kontra, mungkin inilah dampak dari perkembangan zaman,namun haruskah kita lupa bahwa menjaga ekosistem alam itu sangat penting untuk kehidupan selanjutnya ?

Dengan ditanamnya sawit, kekayaan hayati yang ada di hutan akan menjadi punah seperti kebun karet,bawas yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan dan tanaman lainnya. Hutan memang banyak yang rusak sekarang ini, tetapi apakah hutan yang ada tidak lebih baik dipertahankan dan dijaga kelestariannya ? Banyak pohon-pohon besar ditebang sebagian karena ilegal logging dan sebagian karena peggusuran untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Dan untuk menanam kembali pohon-pohon besar tersebut membutuhkan puluhan tahun agar pohon tumbuh besar kembali. Jadi lebih baik menjaga hutan yang masih ada sekarang sebelum semuanya habis terbabat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan kita belum terlambat untuk melakukan itu.

Diharapkan kepada Pemerintah untuk mampu mengontrol perusahaan-perusahaan yang memiliki izin merambah hutan dan jangan sampai mereka memperluas area hutan yang ditebangi melebihi izin yang telah diberikan dan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, karena kenyataannya di lapangan banyak Perusahaan yang melampaui izin yang telah diberikan untuk melakukan penggusuran lahan dan itu polemik yang banyak terjadi di masyarakat saat ini. Masyarakat mengharapkan Pemerintah berani mengambil sikap terhadap perusahaan-perusahaan yang nakal, bila perlu izinnya langsung dicabut.

Monday, May 10, 2010

Noyan Kecamatan Yang Tertinggal


NOYAN - Harus diakui, Noyan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sanggau yang masih tertinggal. Daerah ini sangat minim pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Akses jalan ke desa-desa boleh dibilang masih jalan tanah. Belum pernah dilapisi aspal.

Melihat kondisi demikian, anggota legislatif daerah pemilihan empat yang juga berasal dari daerah tersebut, Petrus Sudarmin, mengaku prihatin melihat kondisi tersebut. Tiap tahun boleh dibilang tidak ada pembangunan signifikan di daerah tersebut. “Sudah tiga kepala daerah ini berganti. Namun kondisi jalan dan pembangunan di Kecamatan Noyan tidak saja berubah,” ungkap Sudarmin.

Anggota Komisi A DPRD Sanggau ini juga melihat, kondisi akses jalan Sejuah-Simpang Noyan masih merupakan jalan tanah. Kondisi tersebut jelas menyulitkan warga Noyan untuk menjual hasil pertanian mereka. “Secara ekonomis, warga Noyan jelas rugi. Selain sulit menjual barang pertanian dan perkebunan mereka ke luar. Jalan rusak, juga memengaruhi tingginya harga sembako ke daerah mereka,” ujarnya.

Menurut praktisi dari partai PDI Perjuangan ini, jika dibandingkan kecamatan lain di kabupaten ini, Noyan memang jauh tertinggal. Kecamatan lain sudah membicarakan pembangunan jalan akses antara desa dan dusun. Sementara Noyan sendiri masih berkutat pada persoalan akses jalan menuju ke ibukota kecamatan. “Kecamatan lain yang dibahas jalan desa. Sementara Noyan jalan kecamatan saja masih memprihatinkan. Ini jelas menunjukkan bahwa Noyan memang butuh perhatian pemerintah,” bebernya.

Bukan hanya itu, menurut Sudarmin, di ibukota Kabupaten Sanggau cukup banyak bangunan dan aset daerah yang dibangun dan diterlantarkan. Dia berharap ketimbang membangun bangunan yang tidak dimanfaatkan dan terkesan mubazir. Lebih baik anggaran yang digelontorkan dengan dana ratusan juta bahkan miliaran rupiah digunakan untuk membangun infrasturktur di Kecamatan Noyan. Baik itu jalan maupun bangunan sekolah.

“Di kota, banyak bangunan yang berdiri dengan biaya ratusan juta sampai miliaran dibiarkan terbengkalai. Lebih baik anggaran sebanyak itu diberikan untuk membangun Noyan kan lebih bermanfaat,” pintanya.

Sudarmin berharap, Pemkab memberikan perhatian pada kecamatan ini. Dengan harapan pembangunan infrastruktur jalan yang menjadi urat nadi perekonomian warga, segera terpenuhi.

“Jika jalan sudah terbuka dan teraspal, jelas akan membantu warga dalam peningkatan perekonomian warga. Dengan tumbuhnya perekonomian warga, maka tingkat kesejahteraan masyarakat juga semakin baik,” ucapnya.

Seperti halnya Sudarmi, Suhardi, pemuda asal Noyan juga berharap pemerintah daerah dapat memerhatikan pembangunan di daerahnya. Seperti halnya masyarakat kecamatan lain, warga Noyan juga menginginkan pembangunan infrastruktur memadai di daerahnya.

“Jangan sampai ada kesan Kecamatan Noyan dianaktirikan pemerintah. Karena itu, harapan kita agar daerah kami mendapat perhatian dan tidak menjadi daerah tertinggal,” harapnya. (equatorNews 10/05/10)

Kecamatan Noyan Bukan Anak Tiri


NOYAN - Anggota DPRD Sanggau P. Sudarmin merasa sangat kecewa dengan penyelenggaraan pembangunan fisik di Kecamatan Noyan. Terutama di bidang transportasi darat berupa jalan dan jembatan, sebab, kondisinya menyedihkan.“Saya sebagai warga yang berasal dari kawasan ini, Kecamatan Noyan merasa dianaktirikan. Khususnya untuk pembangunan jalan dan jembatan,” kata politisi dari PDI Perjuangan ini.Digambarkan olehnya, bahwa ruas jalan kecamatan di Noyan dari pembukaannya tahun 1994 hingga sekarang, kondisinya belum diaspal dan jembatan tidak permanen. Misalnya dari jalur Sejuah hingga ke simpang Noyan masih berupa jalan tanah, kalaupun ada aspal hanya sedikit. Sehingga yang ada di benak dan pikiran Sudarmin, jangankan perhatian pada jalan pedesaan, sementara yang statusnya jalan kecamatan pun sangat minim perhatian dari Pemkab Sanggau.

Bahkan program 18 desa fokus pun, di tahun 2010 ini hanya kebagian 1 desa, yakni Desa Empoto. Diharapkandi tahun-tahun mendatang ada lebih dari 1 desa yang terkena program desa fokus. “Sudah tiga periode kepemimpinan bupati-bupati sebelumnya, perhatian terhadap kondisi jalan dan jembatan di daerah ini (Noyan, Red) minim. Untuk itu diharapkan dalam era kepemimpinan Bupati Setiman ini, mendapatkan perhatian lebih serius,” harapnya.Dijelaskan Sudarmin, bahwa Noyan juga salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Namun kesan yang muncul selama ini, seolah-olah hanya Kecamatan Entikong yang mendapatkan perhatian lebih.

“Perhatian Pemda terhadap jalan dan jembatan sangat diharapkan, karena transportasi darat merupakan urat nadi perekonomian rakyat. Semakin buruk kondisi jalan dan jembatan, maka akan semakin terisolirnya suatu daerah, potensi ekonomi tak tergali dan sumber daya alam tak terkelola dengan baik bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.Nada tak puas juga disampaikan oleh Sudarmin, bahwa dirinya tak bangga ada pembangunan kantor-kantor megah di Kabupaten Sanggau. Sebab, katanya, masih banyak kecamatan pembangunannya terbelakang, bahkan terisolir (PontianakPost 10/05/10)

Monday, April 26, 2010

Perbedaan Air Noyan Dulu dan Sekarang

Beberapa foto Noyan waktu kebanjiran, terlihat pada gambar perbandingan kejernihan air sebelum tercemar dan sesudah tercemar. Keadaan inilah yang sangat di khawatirkan oleh masyarakat Noyan karena perubahannya sangat signifikan. Dengan keadaan air yang sudah bercampur air lumpur ini dapat mendatangkan berbagai macam penyakit. Apalagi air tersebut sampai meluap dan terjadinya banjir seperti pada gambar, ini sangat memprihatinkan warga Noyan terutama yang tempat tinggalnya tidak jauh dari sungai atau warga yang tinggal di Noyan bagian bawah yang sangat rentan terkena banjir. Warga sangat mengharapkan bantuan dari Pemerintah untuk dapat mengakhiri semua ini agar pihak Perusahaan sawit yang mencemari lingkungan ditindak dengan tegas sesuai peraturan yang ada.

Wednesday, April 14, 2010

Berikan Data Akurat Anda Pada Petugas Sensus

NOYAN - Pada tanggal 1 sampai 31 Mei mendatang, seluruh masyarakat Indonesia tidak terkecuali Kecamatan Noyan bakal didata oleh petugas sensus penduduk. Diharapkan penduduk Kecamatan Noyan memberikan data dan informasi yang akurat pada petugas sensus karena data sensus penting dalam menunjang akurasi data penduduk nasional.
Pendataan ini merupakan pembaruan data sensus nasional sepuluh tahun silam. “Semua data, baik itu jumlah keluarga hingga data ekonomi dan sebagainya mesti diberikan dengan akurat pada petugas pencacah," ujar seorang petugas Sensus di Noyan. Adapun kecamatan Noyan memiliki sekitar 20 dusun dan 5 desa dengan total jumlah penduduk sekitar 9952 jiwa. Kecamatan Noyan menyiapkan 28 orang petugas yang sudah diberi pelatihan dan sipa untuk pencacahan. Mari kita sukseskan Sensus Penduduk 2010 dengan memberikan data-data yang akurat kepada petugas sensus.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More