Bertahun-tahun kerusuhan antar etnis
Dayak-Madura di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan
Tengah, telah berlalu. Tragedi paling berdarah di bumi
Kalimantan ini menyebabkan 90.000 orang Madura
terpaksa mengungsi pulang ke kampung halamannya.
Seperti puluhan orang Dayak lainnya di Sampit,
sebagian dari orang Madura itu tewas.
Konflik etnis ini tak sekadar menyentakkan. Tetapi
juga memunculkan kembali diskursus dan kontoversi
terhadap orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda
di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab,
barbarian, kanibal, dan biasa mengayau (memotong
kepala musuh dalam peperangan) ke permukaan.
Stigmanisasi Belanda ini “berhasil” menyesatkan
pandangan suku-suku lain di Nusantara terhadap orang
Dayak. Hingga kini misalnya anak-anak di Pulau Jawa
yang lahir pada era 1970-an percaya bahwa orang Dayak
itu berekor, haus darah, dan dilingkupi kehidupan
black magic yang pekat.
Penyesatan persepsi inilah yang dilakukan Michael
Theophile Hubert (MTH) Perelaer (1831-1901) dalam buku
yang ditulisnya dan diterjemahkan oleh Helius
Sjamsuddin ini. Perelaer yang pernah ambil bagian
dalam Perang Banjarmasin (1859) sebagai opsir Belanda
dan diangkat sebagai Civiel Gezaghebber (pejabat
sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak --kini
Kalimantan Tengah-- (1860) ini di hampir seluruh
bagian buku yang ditulisnya menggambarkan dengan
sangat mumpuni keindahan rimba raya Borneo beserta
sungai-sungai yang bersih dan berarus deras mengalir.
Tentu sebelum ganasnya gergaji dan raung bulldozer
milik kaum kapitalis dari kota meluluh-lantakkan wajah
dan perut bumi.
Melalui kacamata empat serdadu Pemerintah Kolonial
Belanda (dua Swiss, satu Belgia, dan satu Indo beribu
Nias) yang minggat dari benteng Kuala Kapuas,
melakukan perjalanan selama 70 hari menembus belantara
Borneo dari utara ke Selatan melalui segala
marabahaya, dan tidak mau lagi menjalankan tugas
kemiliteran (desersi) karena merasa ditipu oleh
Pemerintah Belanda yang memberi janji penghasilan
melimpah saat mereka ditugaskan, Perelaer juga
berkisah tentang kebudayaan, mitos, jipen (denda
adat), perkawinan, persaudaraan dan kekerabatan, dan
ketajaman mandau Dayak Punan memenggal kepala
musuh-musuhnya.
Namun yang paling banyak dikisahkah Perelear adalah
hal yang terakhir. Di mata Perelear, kayau menjadi
bukti barbarianisme tumbuh, berkembang, dan menjadi
mesin pembunuh yang sangat efektif di kalangan orang
Dayak pada abad ke-19. Hampir di semua bab novelnya
(19 Bab), Perelear menggambarkan bagaimana kayau
berlangsung. Sayangnya Perelear lupa (?) –mungkin
karena buku ini bersifat novel-- menjelaskan mengapa
kayau hidup, berkembang, dan juga menjadi sarana
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial selain menjadi
medium penaklukan dan lambang keperkasaan.
Namun tidak sekali ini saja penulis-penulis Belanda
–juga orang asing lainnya—menggambarkan dengan sangat
tidak sempurna dan cenderung mendiskreditkan orang
Dayak dan kayau-nya.
Buku berbahasa Prancis yang ditulis Jean-Yves Domalain
(1971) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Len Ortzen berjudul Panjamon: I was a Headhunter
(Morrow, New York, 1973) pun demikian. Sebuah buku
yang berkisah tentang kayau terakhir (mungkin). Buku
ini lebih banyak memuat fantasi sang petualang (turis)
Domalain. Karena itu tidaklah mengherankan Library of
Congress (AS) membuat subjek buku ini sebagai
Borneo- Description and Travel yang secara tak
langsung menunjukkan kualitas buku ini tak lebih dari
sekadar iklan untuk turis yang keranjingan bepergian
ke tempat-tempat “eksotik”, liar, primitif, dan
menyeramkan. Terutama dalam menantang marabahaya
kayau.
Sama halnya dengan buku Wyn Sargent, My Life with the
Headhunters yang diterbitkan Garden City, New York,
Doubleday, 1974. Seorang Dayak Ngaju perantauan
menceritakan, Gubernur Kalteng WA Gara pernah terpaksa
mengusir Wyn Sargent, wartawan petualang asal Virginia
ini, karena menulis di koran dan tabloid di Amerika,
dan memberi wawancara bahwa dia tinggal di betang
(rumah panjang tempat beberapa keluarga Dayak tinggal
bersama denga guyub) bersama para pengayau dan
melakukan sex orgy setiap malam.
Dalam bukunya Sargent menceritakan hengkang dari
Borneo, ibu seorang putera (waktu itu berusia 11
tahun) kembali berpetualang ke Lembah Baliem, Papua
Barat. Di sini dia mengaku kawin dengan kepala suku
Bahorok atau O'Bahorok. Sargent kembali membuat
sensasi dengan gambar-gambar pesta perkawinan yang
sebenarnya cuma pesta biasa di kalangan
orang-orang Bahorok selesai musim tanam. Sargent
mengklaim gambar-gambar itu sebagai pesta
perkawinannya dengang sang kepala suku. Sargent
kembali membumbui kisahnya dengan sex orgy seperti
yang dilakukannya di Borneo. Dengan cara demikian
Sargent melengkapi fantasi keprimitifan Borneo dan
Papua bagi para pembaca buku-buku berbahasa Inggris di
Amerika dan Eropa.
Penguasa kolonial dan turis menggunakan ketidaktahuan
–bisa jadi karena kesengajaannya—berkisah dan
melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang
membayangkan Borneo –juga Papua-- sebagai tempat
primitive. Kayau di tangan mereka dibumbui dengan
cerita-cerita lisan yang menggambarkannya sebagai kegiatan
perorangan yg meneror komunitas
lokal maupun seberang sana. Mereka tak pernah berkisah
alasan di balik propaganda kayau sebagai medium
perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap
sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas.
Prof Andrew P Vayda dalam bukunya War in Ecological
Perspective: Persistence, Change, and Adaptive
Processes in Three Oceanian Societies (1976)
mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat
pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat
untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu
keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah
berlangsung dan terpelihara sekian lama.
Perelear mungkin lupa bahwa orang Dayak bisa juga
menjadi lebih beradab dengan saling berdamai dan
menghentikan pertikaian yang berlangsung ratusan tahun
melalui sebuah rapat besar yang dihadiri oleh para
utusan dari 400 kelompok Suku Dayak di seluruh
Kalimantan di Desa Tumbang Anoi, Kahayan Hulu Utara,
Kalimantan Tengah, pada 22 Mei -24 Juli 1894.
Pertikaian yang berlumuran adat kebiasaan lama yang
sudah terlanjur membudaya, berurat berakar warisan
negatif dalam bentuk asang-maasang (perang suku),
bunu-habunu (saling membunuh), kayau-mangayau (saling
penggal kepala), dan jipen-hajipen (saling mendenda),
berganti menjadi suasana yang penuh getaran semangat
pembaharuan dan persaudaraan yang pekat akibat Pakat
Tumbang Anoi itu.
Lalu jika kayau terjadi dalam konflik etnis di Sampit
silam, tentu penyebabnya adalah sesuatu yang
maha luar biasa. Hanya sesuatu yang maha dahsyatlah
yang bisa membangkitkan reaksi orang Dayak dalam
bentuk mangayau musuhnya itu hidup kembali.
Ketidakadilan dan pemihakan kekuasaan yang
meminggirkan hak-hak orang Dayak lah yang sesungguhnya
menjadi penyebabnya. Kayau dalam bentuk modern
(korupsi, diskriminasi, penjarahan kekayaan rimba raya
Borneo dan seterusnya) justru lebih berbahaya dari
kayau yang sudah lindap pasca Pakat Tumbang Anoi 1894.
0 comments:
Post a Comment