Keberpihakan pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat cenderung makin pudar. Itu tercermin dalam penggunaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat yang acap tersisihkan oleh kepentingan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah ataupun pejabat negara yang sesungguhnya tidak urgen.
Contoh gamblang tentang itu adalah pembangunan gedung pemerintahan ataupun pengadaan kendaraan dinas mewah untuk jajaran pejabat negara. Sementara alokasi subsidi yang sangat dibutuhkan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat justru terus dikurangi.
Pengabaian amanat konstitusi negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 itu juga diperparah oleh makin kuatnya dominasi asing dalam perekonomian nasional.
Strategi penggunaan anggaran, ditambah lagi pembiayaan ekonomi pemerintah selama ini, cuma memunculkan ketidakadilan. Penggunaan anggaran negara cenderung diprioritaskan untuk kepentingan pemerintah dan pejabat negara ketimbang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.
Karena itu, peranan pemerintah untuk menjamin kepentingan rakyat harus dilaksanakan secara konsekuen. Selain itu ke depan pemerintah harus segera membuat Undang-Undang (UU) Sistem Perekonomian Nasional agar tetap bisa mempertahankan perekonomian Indonesia dari gempuran intervesi asing, ika tidak perekonomian Indonesia akan terus berada di bawah jajahan kepentingan asing karena tidak adanya pijakan yang berkekuatan hukum tetap dalam menjalankan aturan yang selama ini berlaku.
Sementara itu, kegagalan dalam Pancasila terletak pada orang yang menafsirkannya. Setiap kali pemerintah mau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan, seharusnya dasarnya adalah Pancasila.
Pancasilaiskah keinginan DPR membangun gedung seharga Rp 1,3 triliun di tengah-tengah masih ada sekian juta masyarakat di pedalaman Kalimantan yang penduduknya masih kurang mengenyam dunia pendidikan ? Pertanyaannya, lebih penting mana gedung yang diduduki DPR yang nggak jelas kerjanya apa dibanding tujuan bernegara Pancasila yaitu menciptakan kehidupan yang sejahtera secara ekonomi ?
Terkait lemahnya perekonomian nasional kehadiran undang-undang (UU) saat ini yang dibuat per sektor dengan menguatkan proses liberalisasi perekonomian di masing-masing sektor merupakan bentuk nyata dari kekuatan intervensi asing. Ini terlihat jelas dalam UU tentang Migas dan Pertambangan maupun undang-undang lainnya.
sejak 1966 silam intervensi asing telah berhasil memecah konstitusi Indonesia dengan cara melakukan investasi yang akhirnya tidak sejalan dengan pedoman UUD 45 yakni di Pasal 33. Dengan maksud yang luas pada Pasal 33,maka intervensi asing bisa menjadikan pejabat negara memelintir bunyi konstitusi tersebut sehingga terbitlah UU di bawahnya. Akhirnya menjadikan peraturan tersebut menjadi legal yang disebut legalisasi neokolonialisme.
Seharusnya, ada UU yang bisa menjadi sinkronisasi dari UU yang berkaitan dengan ekonomi dan telah berjalan, sehingga tidak ada peraturan yang bertabrakan dan merugikan perekonomian bangsa. Ya, platform-nya tetap harus menginduk kepada UU Dasar 1945, Pasal 33. Harus diakui, terjadi kelemahan perekonomian nasional karena semata-mata hanya karena semua orang telah melemahkan keberadaan Pancasila, dimana itu menjadi batang tubuh dari UU Dasar yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, Indonesia harus memiliki UU khusus perekonomian nasional yang bisa mengintegrasikan UU yang kini dibagi per sektor. Namun, platform-nya tetap harus sejalan dengan Pasal 33 UU Dasar 1945, Yakni lebih menjelaskan secara spesifik aturan yang boleh dijalankan sehingga tidak merugikan perekonomian bangsa dan pastinya bebas dari intervensi kepentingan asing
Di lain pihak, masuknya pihak asing ke dalam perekonomian Indonesia sebenarnya tidak menjadi masalah jika tidak memengaruhi jantung perekonomian dan tidak mengganggu kebutuhan rakyat banyak. Termasuk di sektor perbankan nasional yang kini kepemilikan asing sudah menguasai sekitar 40 persen aset perbankan. Namun masalahnya, perbankan merupakan jantung perekonomian nasional saat ini, sehingga kalau tidak diperkecil batas kepemilikan asing bisa mengganggu ekonomi kita. Sekarang sudah 40 persen aset perbankan yang dimiliki asing, dan kalau tidak dikurangi jumlahnya, maka itu akan terus bertambah.
Aturan mengenai bolehnya pihak asing memiliki saham bank di Indonesia hingga 99 persen diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29/1999 mengenai Pembelian Saham Bank Umum yang dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie pada Mei 1999. Para Ekonom menyoroti kemudahan bagi pihak asing untuk menjadi pemilik di bank-bank nasional. Seharusnya kemudahan itu diikuti dengan aturan agar bank tersebut benar-benar bermanfaat bagi perekonomian nasional dan tidak hanya mencari untung semata. Kepemilikan asing harus diatur agar lebih seimbang, terutama agar pencairan kreditnya harus ditingkatkan.