Hancurnya Sumber Penghidupan Masyarakat
Tanah dan kekayaan alam bagi kaum tani merupakan sarana produksi utama. Dari hasil kerjanya kaum tani untuk menghasilkan kebutuhan untuk penghidupannya. Bagi masyarakat Kalimantan Barat ketergantungan penghidupan ekonomi dari tanah dan kekayaan alam berupa hutan
Tidak Ada Pemulihan,Hutan Indonesia akan Hancur
Pada tahun 1950, Luas Hutan indonesia masih menutupi 80 % daratan Indonesia, dengan luas 162.290.000 Hektar, dan sampai hari ini grafik kerusakannya semakin meningkat. Tahun 1999 Kepentingan Perubahan kawasan hutan untuk pertambangan mulai muncul menyusul sejak keluarnya izin tambang dalam kawasan hutan, dimana saat itu luas izin tambang dalam kawsan hutan
Memajukan Desa Tertinggal
Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia secara legal formal telah merdeka lebih dari setengah abad. Pada bulan Agustus 2012 nanti, Indonesia telah memasuki usia kemerdekaanya yang ke-67.
Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
Kesejahteraan Rakyat Acap Tersisihkan
Keberpihakan pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat cenderung makin pudar. Itu tercermin dalam penggunaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat yang acap tersisihkan oleh kepentingan untuk memenuhi .
Sunday, May 24, 2009
Wednesday, May 13, 2009
Bunuo Mawa
Tuesday, May 12, 2009
Lapangan Sepak Bola
Beginilah keadaan lapangan sepak bola yang ada di Noyan saat ini terlihat tidak terawat lagi dan rumputnya pun meninggi seperti pada gambar, lapangan ini akan terawat kembali menjelang memperingati Hari Kemerdekaan RI karena akan digunakan sebagai tempat pertandingan sepak bola yang akan diadakan oleh Camat Noyan. Biasanya peserta pertandingan tidak hanya datang dari daerah Kecamatan Noyan tetapi dari luar Kecamatan Noyan juga ambil bagian dalam memperebutkan piala bergilir.
Upacara Pesta Pernikahan Adat Suku Dayak
Friday, May 8, 2009
GEREJA
Kantor Kepala Desa
Gedung Milik Pemerintah Yang Tidak Terawat
Fasilitas Pendidikan Milik Pemerintah
Ini foto-foto gedung dimana anak-anak Noyan dan sekitarnya bisa mengenyam pendidikan dari tingkat SD hingga SMP, bahkan sekarang ini sudah dibukanya Taman Kanak-kanak (TK). Dan masyarakat Noyan juga menunggu dibangunkannya gedung SMA agar anak-anak Noyan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Ibu Kota Kabupaten untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas. Kapankah itu terealisasikan?
Kantor Badan Permusyawaratan Desa
Tuesday, May 5, 2009
Team Sepak Bola Noyan "Sinar Empanang"
BABEY BOREH
Ini adalah salah satu foto pemimpin spiritual upacara adat dayak yang dinamakan Babey Boreh. Babey Boreh biasanya memimpin suatu upacara adat seperti penyembuhan orang sakit,pemanggilan arwah,pernikahan adat,dan upacara-upacara adat lainnya seperti pesta panen padi atau yang biasa disebut Gawai Dayak.
Friday, May 1, 2009
Apakah BIDAYUH itu?
Kelompok Dayak dari sub Bidayuh ini banyak terdapat di Kabupaten Sanggau, sebagian Kabupaten Bengkayang, Landak, Sekadau dan sebagian kecil di Kabupaten Ketapang. Keberadaan mereka sebagai masyarakat pedalaman telah membawa banyak dampak bagi pembangunan di Kalimantan Barat. Walaupun mereka belum terdata dengan pasti dari jumlah populasi tetapi yang pasti Bidayuh di Kalbar cukup mampu membawa perubahan pembangunan dengan baik.
Bidayuh merupakan bagian dari masyarakat Dayak yang mempunyai bahasa dengan ciri dan khas Bidayuh atau Bidoih. Kekhasan bahasa mereka digolongkan oleh para ahli dan peneliti bahasa sebagai bagian dari kelompok bahasa dari grup Bidayuhic. Bidayuh merupakan bagian kecil dari 405 sub Dayak yang ada di Kalimantan yang juga oleh Dr. H.J. Malin seorang kontroleur digolongkan kedalam bagian Dayak Klemantan. Menurutnya ada 6 stammenras dari 405 sub suku Dayak di Kalimantan yang 147 nya ada di Kalimantan Barat. Stammenras tersebut diantaranya adalah (1) Kenyah-Kayaan-Bahau, (2) Ot Danum atau Uud Danum, (3) Iban, (4) Murut, (5) Klemantan dan (6) Punan.
Bidayuh atau Bideyeh atau Bidoih merupakan bagian dari stammenras Klemantan dengan bahasa yang khas. Walaupun Bidayuh merupakan stammenras Klemantan, ia sendiri mempunyai banyak bagian yang dinamakan sebagai sub suku Bidayuh. Sub suku dari Bidayuh ini sendiri mempunyai banyak bahasa yang berbeda intonasi, kata, dan gaya bahasanya. Walaupun berbeda ia masih dapat dilihat sebagai bagian dari Bidayuh dari kosa kata dan aksen-aksen bahasa nya sehingga siapa saja dapat membedakannya dengan memahami bahasanya bahwa ia berasal dari Bidayuh yang mana.
Bidayuh sendiri bukan saja terdapat di Kalimantan Barat, ia juga dapat dijumpai di Sarawak Malaysia Timur. Mereka dapat dengan mudah dijumpai disepanjang perbatasan antara Kalimantan Barat-Indonesia dengan Sarawak-Malaysia. Kedua Bidayuh tersebut tidak ada yang berbeda karena kedua-duanya adalah sama Bidayuh hanya dipisahkan oleh garis administrative politis antar negara saja. Bidayuh di Sarawak populasi dan keberadaannya jauh lebih berkembang jika dibandingkan dengan Bidayuh di Kalimantan Barat. Hal itu tidak terlepas dari peran pemerintah Malaysia dalam memberikan akses kemudahan bagi masyarakatnya termasuk Bidayuh. Walaupun begitu tidak sedikit pula masyarakat Bidayuh Sarawak menjadi korban politik negaranya sendiri misalnya dalam bidang investasi perkebunan yang dilakukan dibawah naungan pemerintah Negara Malaysia. Secara politis Bidayuh Kalimantan Barat jauh lebih berpeluang maju dan berkembang karena iklim demokrasi sudah terbuka dengan lebar dan mudah tinggal bagaimana Bidayuh Kalbar mengembangkan dirinya sendiri agar mencapai tujuan dan cita-cita kejayaan nya dikemudian hari.
Perkataan Bidayuh sendiri sebenarnya merupakan sebuah susunan huruf yang ditulis oleh para penulis masa itu menurut pendengarannya sehingga dihasilkanlah tulisan berbentuk “BIDAYUH”. Dalam budaya Bidayuh tulisan tidak dikenal sehingga tidak ada satu kode pun yang dapat mewakili “perkataan Bidayuh”. Hal itu telah menyulitkan banyak pihak untuk memahami apa dan bagaimana sebenarnya tulisan yang benar sebab sebagian kelompok Bidayuh yang lainnya mempunyai bentuk tulisan lain yang mewakili kata “Bidayuh” tersebut misalkan dengan tulisan kata “ Bideyeh, Bidayah, Bidoih atau Obi Doih”. Walaupun begitu apapun yang disebutkan oleh masyarakat mewakili konsonan dan vocal dari lambang bunyi tersebut, para penulis terdahulu telah menuliskan kata Bidayuh menjadi kata penunjuk bagi masyarakat dengan rumpun bahasa Bidayuhic atau dari stammenras Klemantan tersebut atau yang sering ditulis sebagai land Dayak dalam berbagai literature.
Sampai saat ini pengertian Bidayuh, Bideyeh maupun Bidoih masih belum berubah. Pengertian dasar dari arti kata Bidayuh dapat dibagi dalam dua suku kata yakni Bi = orang dan dayuh = darat atau pedalaman. Jadi pengertian umum Bidayuh adalah orang yang mendiami wilayah daratan atau pedalaman dari pulau borneo. Beberapa kata juga ada yang memiliki kemiripan tulisan maupun bunyi nya diantaranya kata doih dan daih. Doih berarti darat atau pedalaman sedangkan daih memiliki arti besar. Dalam konteks ini pengertian daih bukanlah prioritas untuk dibahas sebab maknanya agak melebar dari makna sesungguhnya. Doih atau Dayuh ataupun Deyeh dipilih sebagai arti kata yang mewakili arti darat atau pedalaman bukanlah pengertian yang diada-adakan tetapi memang arti dari makna kata tersebut memang mengandung arti darat atau pedalaman.
Referensi tentang Bidayuh justeru lebih banyak ditemukan di Sarawak Malaysia dari pada di Indonesia, mengapa? Hal itu tentu dikarenakan oleh keinginan berbagai pihak termasuk kaum Bidayuh sendiri untuk mencatat dan menyimpan arsip adapt budaya mereka sendiri kedalam berbagai bentuk arsip misalkan dalam bentuk gambar photo, rekaman video, tulisan-tulisan ilmiah maupun berupa artikel biasa. Hal ini lah yang menjadikan Bidayuh di Sarawak kaya akan literature tentang diri mereka sementara Bidayuh di Kalimantan Barat sendiri sangat minim literature tentang Bidayuh.
Minimnya literature Bidayuh Kalimantan Barat dapat dimaklumi karena memang belum banyak orang yang berminat menulis dan mengarsipkan data-data tentang Bidayuh di Kalbar termasuk belum terlihat minat dari orang Bidayuh sendiri mengangkat tentang siapa diri mereka kedalam berbagai bentuk dokumentasi.
Banyak orang mampu dari kalangan Bidayuh di Kalbar tetapi tidak satutpun yang rela berkorban untuk membantu mendokumentasikan data-data mengenai keberadaan Bidayuh di Kalbar khususnya di wilayah Kabupaten Sanggau dan 4 kabupaten lainnya itu. Jika ada sedikit kepedulian saja maka litertur tentang Bidayuh akan dapat terwujud sebagai sebuah karya ilmiah bagi seluruh masyarakat bukan hanya bagi orang Bidayuh saja melainkan juga bagi seluruh masyarakat dunia. Adanya literature akan mempermudah generasi Bidayuh kedepan untuk meraih gelar sarjana dalam penulisan skripsi maupun tesisnya tentang Bidayuh sehingga tidak sia-sia data-data tentang Bidayuh dikumpulkan dan dikemas dalam berbagai format arsip.
Kata Bidayuh maupun Bidoih serta Bideyeh sama sekali bukan sebuah persoalan, yang jelas bahwa penulisan kata Bidayuh sudah mewakili apa yang dimaknai sebagai masyarakat kaum Bideyeh dan Bidoih. Sebutan tersebut didasari oleh oral sub suku tersebut dalam menyebutkan bunyi bahasa yang dihasilkan dari lidah dan mulut serta bibir terhadap sebuah atau suatu kata. Jadi hal tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap penggunaan kata Bidayuh sebagai wakil lambang bunyi bahasa dari masing-masing sub etnik dari rumpun Bidayuh itu sendiri karena perkataan Bidayuh juga diterima sebagai wakil dari sebutan untuk Bidoih dan Bideyeh.
Bidayuh maupun Bidoih juga menerima kenyataan bahwa diri mereka juga masuk sebagai bagian dari kelompok masyarakat non muslim yang tinggal di pedalaman yang kemudian oleh para penulis Belanda disebut sebagai Dayak, karena menurut definisinya bahwa semua masyarakat pedalaman di Kalimantan yang tidak beragama Islam dan masih memegang teguh adat istiadat aslinya dapat digolongkan kedalam sebuah grup bernama Dayak yang dulu ditulis sebagai Daya, Dyak atau pun Dayaker. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa bahasa-bahasa suku Dayak sangat berbeda satu sama lain sehingga Dayak tidak lagi cocok disebut sebagai suku melainkan Bangsa.
Dalam catatannya, Tjilik Riwut lebih senang menuliskan kata suku bangsa Daya dari pada hanya sekadar suku Dayak saja. Mungkin karena ia telah melihat bahwa Dayak terdiri dari suku dan bahasa yang beragam layaknya sebuah bangsa dalam sebuah Negara. Agaknya tidaklah berlebihan bahwa kenyataannya memang demikian bahwa Dayak sulit disatukan prinsipnya kecuali dalam hal perang. Dalam hal ekonomi Dayak baru mulai bangkit dan bersatu tetapi sebelumnya tidak. Dalam hal politik masih belum nampak dimana persatuan dan kesatuannya karena masing-masing orang lebih senang mencari kekayaan untuk dirinya sendiri melalui jalur politik dan pemerintahan sehingga tidak jelas komitmen pembangunannya terhadap masyarakat Dayak. Dayak sendiri kini sangat populer karena keberaniannya menggunakan kata “Dayak” yang berarti bodoh, miskin, tertindas dan jorok seperti binatang. Anggapan tersebut mereka coba bantah dengan menampilkan siapa Dayak yang sesungguhnya. Memang diakui bahwa jaman dahulu siapa saja baik Dayak, Melayu, Cina, Batak, Jawa dan suku-suku lainnya di Indonesia sama-sama jorok, miskin dan bodoh, sekali lagi itu adalah jaman dahulu. Jaman terus berubah dan berkembang, Dayak dahulu dengan sekarang tentu berbeda, apakah masih relevan menggunakan istilah Dayak itu bodoh, miskin, jorok dan tertindas? Jawabannya ada dihati kita semua.
Bidayuh bagian dari Dayak yang digolongkan kedalam ras Klemantan merupakan Dayak pedalaman yang banyak mendiami perbukitan, pegunungan dan sungai-sungai kecil diantaranya botang Sekayam atau Sungai Sekayam dan sungai-sungai kecil lainnya. Mereka hidup berladang dan berkebun karet secara tradisional. Kini ada banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk ke wilayah mereka dengan menjanjikan kesejahteraan namun kenyataannya berbeda. Kesejahteraan yang dijanjikan ternyata berbuah kesengsaraan. Dari sana Bidayuh harus melihat dirinya bahwa ia tidak akan bias hidup terus dengan caranya yang lama melainkan harus merubah diri secepat mungkin agar dapat sesuai dan mampu sejajar dengan suku-suku lain di Indonesia. Kaum Bidayuh harus sekolah dan maju serta menguasai berbagai bidang baik ekonomi, politik, social budaya, dunia pendidikan dan sektor-sektor lainnya. Jika tidak ingin Bidayuh hancur dan dikuasai orang lain maka satu-satunya cara saat ini adalah Bidayuh harus mau merubah diri dalam waktu secepat-cepatnya dan menguasai berbagai sumber daya yang telah ada maupun yang belum terlihat. Kita memang tidak mampu membuat Negara tetapi kita harus membuat perubahan.
Bidayuh-Bidoih Kodatn
Bidayuh Kodatn atau sering juga disebut dengan istilah Bidoih Kodatn atau Pangkodatn merupakan bagian terkecil dari Bidayuh secara keseluruhan. Bidayuh Kodatn sendiri lebih sering disebut sebagai Bidoih bukan Bidayuh. Kata Bidoih lebih sering dipakai ketimbang kata Bidayuh walaupun keduanya mempunya makna yang sama yakni orang pedalaman atau daratan.
Bidoih Kodatn memang mempunyai dialeg bahasa yang berbeda dengan orang-orang Bidayuh pada umumnya oleh karena mereka berawal dari satu rumpun maka unsure kata dalam bahasa mereka hampir 90% sama. Kalaupun ada perbedaan hal itu terdapat dalam dialeg, aksen dan beberapa kosa kata, namun secara jelas bahwa Orang Bidoih Kodatn termasuk kedalam rumpun Bidayuh dan dapat digolongkan dalam kelompok bahasa Bidayuhik.
Dalam buku Van Hulten ditulis bahwa orang-orang Bidayuh termasuk orang Bidoih Kodatn merupakan sub kecil dari sebuah kelompok besar Dayak yang dibagi dalam 6 stammenras, Bidayuh sendiri masuk dalam kelompok Dayak Klemantan.
Bidoih Kodatn sendiri berasal dari sebuah tembawang tua yang bernama Temawakng Daih dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai Temawakng Besar. Temawakng sendiri dimaksudkan adalah sebuah tempat tinggal sekelompok masyarakat Bidoih pada jaman itu yang sudah tidak dihuni lagi dimana didalamnya terdapat warisan seperti tanah, kebun buah-buahan dan segala isi didalamnya yang telah berubah rimbun kembali menjadi mirip hutan.
Biasanya dalam sebuah tembawang terdapat berbagai jenis pohon buah-buahan seperti durian, tengkawang, pohon karet dan berbagai jenis pohon buah-buahan didalamnya termasuk tanah dimana tumbuh-tumbuhan tersebut hidup. Sebelum menjadi sebuah tembawang, wilayah tersebut dulunya diladangi untuk ditanami padi. Setelah padi selesai dipanen maka tanah itupun ditinggalkan. Sebelum ditinggalkan pemiliknya, tanah itu terlebih dahulu ditanami berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti yang disebutkan diatas. Setelah ditanami, wilayah itupun ditinggalkan sekian puluh tahun lamanya tanpa dirawat sampai pohon-pohon tersebut tumbuh dan besar serta rimbun. Tempat itulah kemudian yang disebut sebagai tembawang.
Sejarah kedatangan Bidoih Kodatn di Temawakng Daih tidak diceritakan atau tidak diketahui secara pasti, yang jelas menurut para nara sumber hasil wawancara bersama mereka bahwa Orang Kodatn atau Bidoih Kodatn sejak semula memang sudah berada di Temawakng Daih. Mereka hidup sebagai satu kesatuan masyarakat Bidoih dengan tatanan kehidupan demokrasi menurut caranya sendiri. Bidoih Kodatn sendiri banyak yang tidak mengetahu secara pasti darimana sebenarnya mereka berawal, namun menurut salah seorang sumber seperti yang ditutur ulang oleh Urbanus Didi seorang Putra Kodatn mengatakan bahwa ayahnya Pastor Sanding, OFM.Cap bernama Sangel pernah bercerita padanya semasa ia kecil bahwa orang Bidoih Kodatn ini berasal dari Mayao. Mengenai kebenarannya masih perlu dicari lebih dalam lagi sebagai kaijan bersama apakah memang benar pecahan terkecil Bidoih Mayao kemudian menjadi apa yang sekarang disebut sebagai Bidoh Kodatn? Jika ditinjau dari segi bahasa, memang banyak kesamaan dan kemiripan daripada perbedaan. Keduanya menggunakan bahasa Bidoih yang dikenal dengan nama “bekidoh”. Kenapa disebut bekidoh? Sampai kini juga masih belum jelas apakah karena kata itu lebih simpel untuk menunjukkan identitas bahasa suatu sub suku di wilayah ini. Yang jelas, kata bekidoh lebih dikenal banyak orang dari pada istilah lainnya sehingga sampai saat ini bekidoh juga digunakan untuk menunjukkan sebuah identitas sub suku Dayak yang ada di wilayah Kabupaten Sanggau.
Soal asal usul Bidoih Kodatn dari Mayao bias saja benar sebab bahasa keduanya adalah bekidoh sehinga ada kaitan dari sisi bahasa sekalipun ada dialeg yang berbeda. Dalam sub Bidoih, dialeg dapat menunjukkan asal darimana orang tersebut berasal atau orang apakah dia. Jadi untuk mengenal mereka akan sangat gampang yakni dapat dikenal melalui dialeg bahasanya ketika ia berbicara. Sampai kini pun bagi orang Bidoih banyaknya bahasa Bidoih ini tercipta oleh apa masih menjadi misteri dan pertanyaan besar mengapa bias demikian.
Jika merujuk kembali kepada sejarah Tamputn Juah mungkin akan dapat ditemui jawabannya secara ilmiah walaupun ada cukup banyak sub suku Bidayuh/Bidoih yang mengatakan bahwa terjadinya berlainan bahasa Dayak disebabkan oleh keracunan jamur hutan ketika lari dari Tamputn Juah tanah leluhur orang Bidayuh dan Iban. Ada juga versi lain karena memakan burung elang raksaksa yang mati menabrak sebagian ujung Bukit Tiong Kandang di Batang Tarang sehingga menyebabkan sebagian ujung bukit itu pecah dan membentuk seperti apa yang dilihat saat ini. Mungkin semuanya benar untuk mencari pembenaran bahwa bahasa Dayak Bidayuh terpecah-pecah oleh karena sesuatu dan lain hal. Walaupun begitu semua ceritra tersebut tidaklah serta merta disalahkan karena mengandung unsur yang dianggap legenda atau tidak terdapat bukti-bukti kuat bahwa ceritra tersebut nyata adanya, namun mungkin secara ilmiah dapat dikatakan bahwa terjadinya bahasa-bahasa Bidayuh yang terpecah belah menjadi sub bahasa itu secara sengaja diciptakan dengan alasan tertentu.
Ketika itu di Tamputn Juah menurut versi Bidayuh dan Iban ada sebuah pertengkaran dan perkelahian hebat antara manusia dengan hantu penjaga wilayah Tamputn Juah. Dulu hidup keduanya harmonis, oleh karena adanya kecemaran di wilayah itu maka kelompok makhluk halus atau para hantu tersebut akhirnya berkelahi dengan manusia sehingga oleh kelompok hantu wilayah Tamputn Juah diberi wabah bau tahi atau bau kotoran manusia. Apa saja dimakan rasa dan baunya serupa dengan kotoran manusia termasuk nasi yang dimasak berbau kotoran manusia sehingga hal ini membuat manusia Bidayuh dan Iban tidak lagi sanggup tinggal disana. Karena tidak sanggup lagi, maka banyak penduduk di wilayah Tamputn Juah terpaksa melarikan diri dan berpencar jauh dari Tamputn Juah. Ada yang menuju wilayah Utara, Selatan, Timur dan Barat.
Sebelum melarikan diri, beberapa kelompok Bidayuh tersebut terpaksa mengubah bahasanya agar tidak dikenali para hantu bahwa semula mereka penduduk Tamputn Juah. Karena hukum antara manusia dan hantu saat itu sangat erat dan kuat maka para hantu tidak akan menyerang penduduk suku lain dari bahasa orang itu maka solusi untuk lari dari Tamputn Juah adalah mereka harus merubah bahasa, dialeg, aksen dan kosa katanya dengan maksud agar para hantu tidak menyerang mereka lagi ditempat yang baru. Alasan tersebut logis dan ilmiah, inilah yang memungkinkan terjadinya perpecahan bahasa selain dari teori terjadinya bahasa yang ada dalam ilmu linguistik
Sebelumnya di Tamputn Juah pasti hidup kelompok Bidayuh dengan bahasa Bidayuh yang sejenis termasuk kaum Iban dengan bahasa Ibannya yang sejenis. Para hantu sudah mengetahui hal itu sehingga atas nama hukum keduanya para hantu tidak berhak menyerang sembarangan penduduk kecuali dari sub bahasa tertentu. Hal inilah yang kemudian menjadikan bahasa-bahasa Bidayuh menjadi berbeda satu sama lainnya. Hal serupa pun dialami bangsa Iban dimana ada banyak dialeg Iban berbeda satu sama lainnya sehingga kelompok mereka dapat disebut sebagai kelompok rumpun Iban.
Bidoih Kodatn sendiri percaya bahwa mereka berasal dari Tamputn Juah. Hal itu pun sama seperti yang diungkapkan Bidoih lainnya. Mereka harus menelusuri Sungai Sekayam hinga menembus botakng Kapuas (Sungai Kapuas). Mereka akhirnya berhenti dalam persinggahannya dan mendirikan kampung. Mungkin dari sanalah Bidoih Kodatn memulai kisah keberadaan mereka di Temawakng Daih.
Banyak orang bertanya-tanya sebenarnya Temawakng Daih itu dimana? Sebagian orang termasuk generasi muda banyak yang tidak pernah tahun dimana sebenarnya tempat itu. Menurut kisah legenda dan bukti-bukti otentik serta menurut berbagai nara sumber bahwa Temawakng Daih Bidoih Kodatn atau Bi’Kodatn terletak di antara Kampung Prongakng atau yang kini dikenal dengan Rantau Perapat dengan koja dorik Empulor atau kaki bukit Empulor. Lokasi itu kini sudah menjadi hutan muda dan kebun karet serta ditumbuhi banyak bambu, durian dan pohon-pohon lainnya.
Secara Administratif, wilayah Temawakng Daih masuk dalam wilayah Kecamatan Parindu dan kampung Kodatn terakhir adalah Rantau Perapat karena ia serta satu-satunya yang masuk wilayah Kecamatan Parindu Kampung ini semula merupakan pelaman Bi’Nyanakng atau sub kampungnya orang Nyandang. Sebelum orang Nyandang tinggal disana, leluhur Bi’Kodatn sudah lebih dulu tinggal diwilayah tersebut. Rantau Perapat boleh juga dikatakan sebagai benteng orang Kodatn karena wilayahnya sangat dekat dengan Temawakng Daih dan pintu awal masuk wilayah Bidoih Kodatn.
Tentang Asal Mula Suku Dayak
Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.
Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.
Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978)
Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.
Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)
Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)