Hancurnya Sumber Penghidupan Masyarakat

Tanah dan kekayaan alam bagi kaum tani merupakan sarana produksi utama. Dari hasil kerjanya kaum tani untuk menghasilkan kebutuhan untuk penghidupannya. Bagi masyarakat Kalimantan Barat ketergantungan penghidupan ekonomi dari tanah dan kekayaan alam berupa hutan

Tidak Ada Pemulihan,Hutan Indonesia akan Hancur

Pada tahun 1950, Luas Hutan indonesia masih menutupi 80 % daratan Indonesia, dengan luas 162.290.000 Hektar, dan sampai hari ini grafik kerusakannya semakin meningkat. Tahun 1999 Kepentingan Perubahan kawasan hutan untuk pertambangan mulai muncul menyusul sejak keluarnya izin tambang dalam kawasan hutan, dimana saat itu luas izin tambang dalam kawsan hutan

Memajukan Desa Tertinggal

Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia secara legal formal telah merdeka lebih dari setengah abad. Pada bulan Agustus 2012 nanti, Indonesia telah memasuki usia kemerdekaanya yang ke-67.

Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan

Kesejahteraan Rakyat Acap Tersisihkan

Keberpihakan pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat cenderung makin pudar. Itu tercermin dalam penggunaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat yang acap tersisihkan oleh kepentingan untuk memenuhi .

Friday, July 23, 2010

Peradilan Adat : Keadilan Yang Ternafikan








”Jika rasa keadilan tidak lagi menjadi milik semua orang, dan ketika rasa keadilan itu terpasung dalam bingkai institusi pengadilan kenegaraan yang harus dibayar mahal olehrakyat. Maka, Peradilan adat adalah pilihan tepat.”

Dalam konteks kekinian peradilan adat mungkin telah menjadi kata-kata yang maknanya sulit dipahami oleh banyak pihak. Alasannya mungkin saja karena informasi tentang peradilan adat sangat minim atau disebabkan adanya upaya sistematis oleh para pihak terutama negara yang mencoba mengaburkan makna hakiki dari peradilan adat itu sendiri. Faktanya sampai saat ini peradilan adat hanyalah tinggal cerita-cerita lama, yang terbungkus dalam bingkai usang sejarah negara ini. Memang tidak banyak pihak yang mengerti apa dan bagaimana perkembangan praktek peradilan adat saat ini, sehingga kesimpulan yang meraba-raba sepertinya menjadi pilihan oleh penyelenggara negara untuk mendefinisikan apa dan bagaimana peradilan adat seharusnya diposisikan. Dengan demikian hasil yang terlihat adalah tidak proporsional dan menyudutkan eksistensi peradilan adat. Mengaburnya makna peradilan adat kini semakin kentara, apalagi bagi masyarakat yang kini jauh di perkotaan dan tercerabut dari realitas peradilan adat yang sesungguhnya. Tetapi di beberapa wilayah riak peradilan adat sesungguhnya masih kental mewarnai kehidupan masyarakat, terlebih pada komunitas-komunitas adat yang mendiami berbagai kawasan di Indonesia.

Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, peradilan adat sesungguhnya mengemban peranan penting bagi peradaban komunitas adat di Indonesia. Terutama karena fungsinya sebagai pilar yang menjaga keseimbangan hubungan sosial maupun perilaku kearifan lokal masyarakat adat seperti, menjaga harmonisasi hubungan antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian peradilan adat tidak lagi hanya berfungsi sebagai pilar penyeimbang tetapi telah menjelma menjadi entitas budaya masyarakat adat.
Pasang surut eksistensi peradilan adat, tidak terlepas dari pengaruh kuatnya cara berpikir positivisme di tataran penyelenggara negara, sikap yang mengagungkan legalitas formal tersebut memaklumkan bahwa, tidak akan ada peradilan lain selain peradilan negara. Sehingga peradilan adat yang telah ada sejak ratusan tahun lalu di Indonesia dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal,Von Savigny (W.Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat yang berkenaan dengan hukum diantaranya pertama, Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum merupakan proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu perundang -undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan. Kedua,undang-undang tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas,sehingga volkgeist dari suatu bangsa akan terlihat dalam hukumnya.
Realita Peradilan Adat di Indonesia
Unifikasi sistem hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan alasan kepastian hukum serta kepentingan kemudahan dalam penyelenggaraannya, seakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini dapat dilihat kasat mata di setiap napas peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang tidak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukan nilai-nilai keadilan substantifnya. Penyeragaman dalam pembentukan, penerapan serta penegakannya ini, semakin berdiri angkuh dengan segala keadilan normatif yang terkandung di dalamnya seperti yang terpancar dari setiap bunyi bab serta pasal-pasal yang terkodifikasi dengan rapi. Pemaksaan unifikasi yang mengharamkan keberagaman di negara ini, sesungguhnya telah merenggut peradilan adat dari habitat sesungguhnya yaitu masyarakat adat. Sehingga kehancuran sistem asli masyarakat adat terjadi hampir di semua komunitas adat di negeri ini.
Di Kalimantan Barat saja kepunahan praktek peradilan adat akibat intervensi negara telah mendekati titik nadir. Sistem pemerintahan asli yang mendukung praktek peradilan adat seperti Kampokng di kabupaten Sanggau, Banua di Ketapang serta Menua di Dayak Iban dan Titing di masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho kabupaten Kapuas Hulu menjadi hilang, sebagai akibat keluarnya peraturan dan kebijakan negara yang tidak berpihak. Peraturan dan kebijakan anti peradilan adat ini secara pasti berdampak terhadap hilangnya kuasa para Kepala Adat dan para Temenggung, karena dengan adanya penyeragaman tersebut tugas dan fungsinya sebagai satu-kesatuan dari sistem hukum adat tergantikan oleh aparatus desa.
Pembelajaran dari Kalbar
Walaupun secara terus-menerus diingkari keberadaannya, namun peradilan adat tetap saja menjadi pilihan utama bagi masyarakat adat, terutama yang aksesnya ke institusi peradilan negara tak terpenuhi. Nun jauh di perhuluan sungai Kapuas kecamatan Kedamin Kalimantan Barat, masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho tetap menggunakan sistem peradilan adatnya. Dengan berbagai semboyan seperti “kenucu maram kenucu te mulok “ yang artinya telunjuk busuk telunjuk dipotong, merupakan salah satu cerminan sikap tegas dalam penegakan hukum adat oleh komunitas ini.
Dalam menjalankan sistem peradilan adat, berbagai komunitas sesungguhnya memiliki keyakinan dan nilai keadilan sesuai dimensi masing-masing. Seperti contoh masyarakat adat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak dan Pontianak, dalam menjatuhkan sanksi adat selalu mengacu prinsip kade’labih Jubata bera kade’ Kurakng Antu bera” yang artinya, jika berlebihan Tuhan akan marah, tetapi jika kurang roh nenek moyang /hantu yang marah. Prinsip ini secara jelas menyatakan bahwa dalam menjatuhkan sanksi adat, haruslah menganut nilai-nilai keadilan dan keseimbangan.
Tidak hanya sampai pada tataran itu, jika telah diputuskan hukumannya oleh ketua adat, maka untuk perkara-perkara yang diyakini dapat membawa dampak buruk bagi komunitas tersebut seperti kasus hamil diluar nikah”Ngampakng” atau kasus -kasus pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain, akan selalu dilakukan upacara perdamaian antara kedua belah pihak serta kedua belah pihak dengan masyarakat kampung dan alam sekitarnya atau “Mua Tana” dalam masyarakat Dayak Punan. Tergambar jelas bahwa penyelesaian sengketa dalam peradilan adat tidak hanya memvonis benar-salah atau menang-kalah tetapi juga bagaimana mendamaikan para pihak termasuk berdamai dengan alam. supaya kampung dan masyarakat tersebut terbebas dari wabah penyakit, bencana alam dan hal-hal negatif lainnya.
Realitas kearifan seperti inilah yang menggugah 25 suku Dayak di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, untuk secara bersama-sama mendokumentasikan proses peradilan adat di masing-masing sukunya. Pendokumentasian yang dimulai pertengahan tahun 2005 ini, kini berhasil menuliskan secara umum praktek-praktek serta nilai-nilai yang diacu oleh peradilan adat seperti nilai keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum yang biasa praktekan oleh peradilan adat. Dengan keyakinan yang tinggi komunitas Dayak di 25 suku di Kabupaten Sanggau mencoba menyelami kembali, bagaimana peradilan adat yang pemberlakuannya telah diabaikan oleh pemerintah hingga saat ini, tetap menjadi sarana penyelesaian sengketa yang cocok dan mengerti situasi mereka.
Semangat pendokumentasian peradilan adat yang bertujuan merenda kembali semangat dan nilai-nilai keadilan yang memang lahir dan hidup dari kebudayaan asli mereka. Diharapkan pendokumentasian ini menjadi penyemangat bagi mereka untuk terus mempraktekkan peradilan adat sebagai pilihan utama dalam penyelesaian perkara di masyarakat adat. Selain itu, pendokumentasian ini menjadi bukti bagi pihak lain, bahwa di 25 Suku Dayak di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat masih berlaku praktek peradilan adat hingga saat ini.
Akui dan Hormati Peradilan Adat.
Sesuai dengan UUD 1945 semangat pasal 18 I ayat (3) disebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. Aturan tersebut di kuatkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada pasal 6 ayat (1) menyebutkan“ Dalam rangka penegakan hak asai manusia, perbedanan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah”.Sudah barang tentu pengakuan, penghormatan serta memajukan hukum adat dan peradilan adat adalah kewajiban bagi pemerintah. Karena peradilan adat merupakan manifestasi utuh dari identitas budaya masyarakat adat. Maka pengabaian, penyingkiran serta pemusnahan
peradilan adat kategorinya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengakuan dan penghormatan yang dimaksud di atas juga dapat bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau oleh peradilan negara. Peradilan adat dapat menjadi pilihan pemecahan yang tepat untuk penyelesaian perkara. Alasan lain, sampai saat ini masih banyak masyarakat terutama di luar pulau Jawa yang masih menggunakan peradilan adat sebagai sarana penyelesaian sengketa adalah karena biayanya yang murah, tidak bertele-tele serta sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Realitas semangat untuk tetap menjaga dan menjalankan peradilan adat ini hingga saat ini masih tergambar dari pepatah Dayak Iban “Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk Bepanggal ke Pengingat” yang artinya berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah. Sehingga urgensi pengakuan, penghormatan dan pemajuan peradilan adat serta memasukannya kedalam sistem hukum di Indonesia adalah sebuah langkah pasti menuju peran peradilan yang menyediakan keadilan secara substantif. (Oleh: Laurensius Gawing)

Monday, July 19, 2010

Daerah Perbatasan Menjadi 'Angker' Karena Tidak Diurus Pemerintah





Daerah - daerah  perbatasan di Kalimantan Barat terutama di daerah Kecamatan Noyan, Sekayam dan Entikong menjadi terbengkalai karena baik pembangunan fisik maupun ekonominya tidak diurus secara maksimal oleh pemerintah. 

Paradigma lama bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah ‘angker’ dan tidak boleh dijamah sehingga berdampak kepada wilayah perbatasan yang pada akhirnya tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan pelayanan pemerintahan lainnya. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, ada 3 kecamatan di Kabupaten sanggau  yang berbatasan langsung dengan Malaysia Timur yaitu kecamatan Noyan ,sekayam dan Entikong.  Wilayah perbatasan di Kalimantan barat  sebenarnya memiliki sumber bahan baku yang berpotensial untuk mengembangkan industri manufaktur mulai dari bahan tambang logam timah,kelapa sawit,cokelat, kayu dan karet.  Pengembangan industri seharusnya tidak hanya difokuskan di dalam pulau Jawa, tetapi juga diluar pulau Jawa harus difokuskan juga.  Wilayah- wilayah perbatasan selama ini dianggap hanya sebagai halaman belakang rumah, padahal lebih cocok sebagai halaman depan.  

Selama ini, Pemerintah hanya membangun industri di wilayah-wilayah ekonomi sehingga potensi ekonomi di wilayah perbatasan masih jauh dari sentuhan pembangunan, sehingga paradigma lama  harus diubah dari halaman belakang rumah menjadi halaman depan. Hal tersebut  sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang ke dalam Perpres No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN).

Pada kenyataannya bahan baku yang tersedia di wilayah perbatasan justru dikirim ke Malaysia secara ilegal untuk digunakan oleh sektor industri disana, mungkin ini akibat keterlambatan pemerintah mengembangkan industri di daerah perbatasan sehingga masyarakan setempat lebih memilih Malaysia untuk menjual hasil perkebunan maupun hasil industri mereka.  Malaysia sudah membangun industri kelapa sawit di wilayah perbatasan dekat dengan Indonesia, karena Malaysia mau cari peluang bahan baku dari daerah Kita. Seharusnya, kalau Pemerintah peka ,kita yang harus bangun lebih dulu, karena kelapa sawit tali perutnya ada di kita, tapi dia bangun duluan, supaya secara politis kita bergantung dengan Malaysia dan kita anggap itu enteng.

Ironisnya, banyak penduduk Indonesia yang dimanfaatkan untuk membesarkan unit-unit usaha di Malaysia. Hal ini dipicu oleh upah pekerja dan harga jual barang di Malaysia lebih tinggi 4-5 kali lipat dibandingkan dengan harga jual di wilayah Indonesia.   Pemerintah harus mengalokasikan dana khusus untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dasar agar kegiatan ekonomi di wilayah perbatasan bisa berjalan dengan baik. 

Saturday, July 17, 2010

PICTURES OF NOYAN


Friday, July 16, 2010

PICTURES OF NOYAN







Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More